.....ehmmmmmmm.......

welcome to the area's ankga evil
enjoy reading what's there ....
before you get into my world, I suggest that you pray God presented to each of you.

Jumat, 25 Februari 2011

TATA SUSILA

I. PENDAHULUAN
Tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila ialah untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan mahluk yang hidup di sekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan antara manusia dengan alam sekitarnya (Mantra, 5).
Telah menjadi kenyataan bahwa hubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan mahluk sesamanya, antara anggota sesuatu masyarakat, suatu bangsa, manusia dan lain sebagainya, menyebabkan hidup yang aman, rukun, damai dan sentosa. Suatu keluarga, masyarakat, bangsa atau manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh, hancur dan ambruk. Hubungan yang rukun, selaras dan harmoni itu berarti kebahagiaan, dan sebaliknya hubungan yang kacau atau tidak rukun itu berarti kehancuran (mala petaka).
Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, warga masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia yang pada akhirnya dapat membimbing manusia untuk hidup harmoni mencapai pantai bahagia.
Selain daripada itu, tata susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan sesama mahluk dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jiwatmanya dengan paramātma (Hyang Widhi Wasa).
Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang (jiwatma) dapat mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi Wasa, karena hanya kesatuan antara jiwatma dengan Hyang Widhi Wasa itu sajalah yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang, tentram dan damai karena murninya roh (jiwatma) yang disebut ananda. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita VI.20 :
“yatro paramate chittam, niruddham yoga sevayā yatra chai vātmanāmanam, pasyam ātmani tusyanti”





Maksudnya :

Bilamana hati (seseorang) merasa berbahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (Paramātma) dengan pengamatan rohaninya (Jiwātma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani (ananda).

Bahkan pada sloka 22 bab yang sama dinyatakan bahwasannya : “Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka betapapun hebatnya.

II. DASAR TATA SUSILA
Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal abadi, ibarat landasan/fondasi sebuah bangunan dimana suatu bangunan harus didirikan. Jika landasan itu tidak kuat, maka bangunan tersebut mudah benar roboh/ambruk. Demikian juga halnya dengan tata susila, bila tidak dibangun atas dasar agama sebagai landasan yang kokoh/kuat, maka tata susila itu tidak mendalam dan tidak meresap dalam diri pribadi tiap orang.
Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama, atau yang berpedoman atas ajaran kerohanian sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Upanisad (Vedanta). Dalam Upanisad terdapat suatu Sutra yang berbunyi : “Brahma atma aikyam” yang artinya Brahma (Tuhan) dan atma (jiwatma) adalah tunggal. Oleh karena jiwatma semua mahluk tunggal, tunggal dengan Brahmā, maka jiwatma suatu mahluk tunggal juga dengan semua jiwatma, dan jiwatma kitapun tunggal dan sama dengan jiwatma (roh) semua mahluk.
Keinsyafan dan kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita, maka kita akan merasakan dengan renungan (kontemplasi) kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya satu dan sama dengan mahluk lainnya.
Hyang Widhi Wasa berada dimana-mana dan tunggal, menjadi sumber hidup segala ciptaan-Nya yang berpisah-pisah. Sebagai halnya matahari yang menyinari segalanya, meskipun ribuan rumah yang dibatasi tembok-tembok yang tinggi, akan tetapi sinar matahari akan tetap menyinari semuanya. Begitulah mahluk dengan badan yang berbeda-beda, dihidupkan/dijiwai oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
Jika tata susila mendasarkan ajarannya hanya kepada ke Esaan Hyang Widhi Wasa saja, yang menyadari dasar semua makhluk, maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain, berarti juga berbuat baik atau buruk pada dirinya sendiri.
Para Rsi/orang-orang suci telah mengetahui kebenaran yang utama ini, yaitu bahwa Paramātma ditiap-tiap orang adalah tunggal, mereka lalu membangunkan tata susila di atas kebenaran ini. Oleh karena itu kekuasaan kebenaran tata susila dalam Weda yang lainnyapun adalah mutlak, karena berdasarkan kebenaran abadi. Sebagaimana tertuang dalam Bhagawadgita X, 20 sebagai berikut :
“Ahamātma gudakesa, sarvabhutasayasthitah aham adischa, madhyam cha, bhutanam anta eva cha”.

Maksudnya :
Wahai Arjuna (Gudakesa) Aku adalah atma, yang bersemayam di dalam hati semua makhluk dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir makhluk itu sendiri.
Berikutnya bab yang sama sloka 27 disebutkan bahwa orang yang melihat Tuhan (Brahma) yang kekal abadi, bersemayam merata di dalam semua makhluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Jadi tata susila agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil. Jika bertentangan dengan hal ini akan timbul ketidakselarasan di dalam makhluk itu sendiri.

III. BENAR DAN SALAH
Kapankah perbuatan itu dianggap benar dan bilamanakah perbuatan itu dianggap salah? Hyang Widhi Wasa menuntun dunia ini melalui jalan yang benar. Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi Wasa sendiri adalah benar, dan segala sesuatu yang bertentangan jalan ini adalah salah.
Kebahagiaan dan penderitaan makhluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwātma kita sendiri tunggal dengan jiwātma semua makhluk. Menyadari akan tunggalnya jiwātma yang ada dalam diri kita sendiri dengan jiwātma semua makhluk, maka kita berhasrat melakukan amal kebaikan terhadap semuanya. Kesadaran akan tunggalnya jiwātma sendiri dengan Brahma. Amal kebaikan dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan semua makhluk disebut dharma; Dan kesatuan atau penunggalan jiwātma dengan Brahma disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwātma dengan Brahma disebut Niwrti marga. Orang yang mendapat moksa disebut mukti, dan roh yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahma. Kemurniaan jiwātma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi (sukha tan pa wali dukha) yang disebut ananda.
Dalam Chandoya Upanisad terdapat Sutra (ungkapan pendek penuh makna) “Tat twam asi” yang artinya : Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua mahluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakerti) semua mahluk. Aku ini adalah mahluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwātmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwātma semua mahluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua mahluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau ; aku adalah Brahma “Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10).
Menurut ajaran Upanisad dan Tattwa-tattwa bahwasannya ada satu atma yang memberi hidup kepada semua mahluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut Paramātma. Adapun atma yang terdapat didalam diri tiap-tiap mahluk adalah bagian dari paramātma itu sendiri yang disebut juga jiwātma.
Dalam Bhagavadgita XIII.33 dinyatakan :
“Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramātma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi dan menjiwai (memberi hidup) seisi alam (semua mahluk) wahai Arjuna.
Tujuan terakhir hidup kita adalah menuju moksa, yaitu penyatuan (penunggalan) jiwātma dan paramātma.
Jalan yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar Hyang Widhi telah memberi tuntunan berupa wahyu yang diterima oleh para Rsi yang dituangkan dalam Veda yang baik Sruti maupun Smrti.
Hukum-hukum yang sederhana yang diamanatkan didalam pustaka suci oleh para Rsi pada hakekatnya adalah berpikir yang baik dan benar (manacika) diikuti dengan ucapan/kata-kata yang baik dan benar (wacika) dan patut diwujudnyatakan pada sikap/prilaku yang baik dan benar (kayika). Ketiga hal tersebut yaitu : manacika, wacika dan kayika yang disebut Tri Kaya Parisudha.

IV. SUBHA DAN ASUBHA KARMA
Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadigita bahwa kecendrungan budhi manusia atas 2 (dua) bagian yaitu :
1. Daivi Sampat yaitu mutu kedewataan dan
2. Asuri Sampat yaitu mutu keraksasaan.
Dari kedua kecendrungan ini menimbulkan dua prilaku atau perbuatan yaitu perbuatan baik (subha karma) dan perbuatan buruk atau tidak baik (asubha karma).
Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum Rvabhneda yakni subha dan asubha karma (baik dan buruk) namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada subha karma (perbuatan baik).
Sebab salah satu hakekat kehidupan menjelma sebagai manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah untuk memilah dan memilih yang baik dan benar. Sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 2 sebagai berikut :
“Manusah sarvabhutesu, vartate vai subhasubhe asubhesu samavistam, subhesveva vakarayet”
Maksudnya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Walaupun secara tegas sulit menentukan mana perbuatan baik dan buruk, akan tetapi menurut ajaran Hindu secara umum yang disebut perbuatan baik (subhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Hyang Widhi Wasa). Sedangkan perbuatan yang buruk (asubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal tersebut di atas tadi.
Untuk lebih jelasnya, mana bentuk-bentuk perbuatan baik (subhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (asubhakarma) menurut ajaran Hindu akan dipaparkan sebagai berikut :

A. Śubhakarma (Perbuatan Baik)
Śubhakarma adalah sumber dari kesusilaan yaitu segala tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan ketentuan dharma (Oka, 35). Ada beberapa bentuk Śubhakarma diantaranya :

1. Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha artinya tiga bentuk perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang baik dan benar (Kayika). Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu tiga berdasarkan pikiran yang terdiri dari :
- Tidak menginginkan sesuatu yang tidak kekal.
- Tidak berpikiran buruk terhadap mahluk lain.
- Tidak mengingkari adanya hukum karma
Berikutnya empat hal yang berdasarkan ucapan/kata-kata rinciannya adalah :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada mahluk lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji atau ucapan
Sedangkan tiga macam yang berdasarkan perbuatan adalah :
- Tidak menyiksa maupun membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda
- Tidak berzina



2. Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi yang luhur yang diaplikasikan dalam sikap dan perilaku yang terdiri dari :
- Karuna yaitu rasa belas kasihan/kasih sayang terhadap semua mahluk yang mendambakan terhapusnya penderitaan.
- Mudita adalah sifat dan sikap menyenangkan orang lain.
- Upeksa artinya sifat dan sikap menghargai orang lain sehingga tidak ada rasa melecehkan dan menistakan orang lain.
- Maitri adalah sifat dan sikap lemah lembut tidak berlaku kasar untuk kebahagiaan semua mahluk.

3. Panca Yama Brata
Panca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam kaitannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin, terdiri dari :
- Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh mahluk lain dengan sewenang-wenang.
- Brahmacari artinya pengendalian nafsu birahi.
- Satya artinya setia, jujur, benar, baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatan.
- Awyaha(ra)/rika artinya mengupayakan ketulusan dan kedamaian.
- Asteya/Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda untuk orang lain.

4. Panca Nyama Brata
Panca Nyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, yang terdiri dari :
- Akroda artinya tidak cepat atau suka marah.
- Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat guru.
- Sauca artinya kesucian lahir bathin.
- Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum.
- Apramada artinya ketakwaan melakukan kewajiban mengamalkan agama.

5. Asta Sidhhi
Asta Siddhi adalah delapan prihal tuntunan rohani untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir bathin, yang terdiri dari :
- Dana artinya senang berdana punia.
- Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (Ketuhanan).
- Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar.
- Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam samadhi.
- Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik.
- Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan.
- Adi Baktika artinya dapat mengatasi segala kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti.
- Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.

6. Dasa Dharma
Dasa Dharma adalah sepuluh kebenaran/kewajiban suci, yang terdiri dari :
- Sauca artinya murni rohani dan jasmani
- Indryaningraha artinya mengekang indria/nafsu.
- Hrih artinya tahu dengan rasa malu.
- Widya artinya bersifat keihunan dan bijaksana.
- Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran.
- Akrodha artinya sabar (mengekang kemarahan).
- Drti artinya murni dalam bathin.
- Ksama artinya suka mengampuni.
- Dama artinya kuat mengendalikan pikiran.
- Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.

B. Aśubhakarma (Perbuatan Buruk)
Aśubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dan bertentangan dengan Śubhakarma (perbuatan baik), merupakan sumber dari kedursilaan yang mengarah pada kejahatan. Adapun bentuk-bentuk Aśubhakarma yang harus dihindari dalam kehidupan ini antara lain :

1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk perilaku manusia yang sangat kotor yang terdiri dari :
- Moha artinya pikiran, perasaan yang curang, kotor dan angkuh.
- Mada artinya ucapan yang kotor dan dusta.
- Kasmala artinya perbuatan yang hina dan kotor.

2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan karma yang dilakukan, terdiri dari :
• Pataka
- Brunaha artinya menggugurkan bayu dalam kandungan.
- Purusaghna artinya menyakiti orang.
- Kanyacora artinya mencuri perempuan pingitan.
- Agrayajaka artinya bersuami istri melewati kakak.
- Ajnatasamwratsarika artinya bercocok tanam tanpa masanya.
• Upa Pataka terdiri dari :
- Gowadha artinya membunuh sapi.
- Juwatiwradha artinya membunuh gadis.
- Bālawadha artinya membunuh anak.
- Agrhadaha artinya membakar rumah/ merampok.
• Maha Pataka, terdiri dari :
- Brahmanawadha artinya membunuh orang suci/ pendeta.
- Surapana artinya suka meminum alkohol/ suka mabuk.
- Swarnasteya artinya suka mencuri emas.
- Kanyawrighna artinya memperkosa gadis.
- Guruweradha artinya membunuh guru.
• Ali Pataka, terdiri dari :
- Swraputribhayana artinya memperkosa saudara perempuan.
- Matrabhayana artinya memperkosa ibu.
- Linggagrahana artinya merusak tempat suci.

3. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia, terdiri dari :
- Kāma : sifat penuh nafsu indrya
- Lobha : sifat loba dan serakah
- Krodha : sifat marah, bengis dan kejam
- Mada : sifat suka mabuk-mabukan
- Moha : sifat bingung dan angkuh
- Matsarya : sifat dengki dan irihati

4. Sad Atatayi (enam pembunuhan kejam) terdiri dari :
- Agnida artinya membakar hak milik orang lain.
- Wisada artinya meracun orang lain
- Atharwa artinya melakukan ilmu hitam
- Sastraghna artinya suka mengamuk/merampok
- Dratikrama artinya suka memperkosa
- Rajapisuna artinya suka memfitnah

5. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh kegelapan pikiran yang terdiri dari :
- Surupa artinya mabuk akibat ketampanan
- Dhana artinya mabuk akibat kekayaan
- Guna artinya mabuk akibat kepandaian
- Kulina artinya mabuk akibat keturunan bangsawan
- Yowana artinya mabuk akibat keremajaan
- Sura artinya mabuk akibat minuman keras
- Kasuran artinya mabuk akibat kemenangan

V. PENUTUP
Menyimak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata susila adalah peraturan tingkah laku yang baik dan mulia demi kesejahteraan dan kerahayuan serta hubungan yang harmoni sesamanya.
Intinya terletak pada pengendalian pikiran, perkataan dan perbuatan untuk mewujudkan Trikaya Parisudha yaitu berpikir, berkata dan berprilaku yang baik dan benar.
Demikianlah uraian singkat tentang Tata Susila, semoga bermanfaat bagi kita semua.


referensi:

Kajeng I Nyoman, dkk., Sarasamuscaya, 1991,
Yayasan Dharma Sarathi ; Jakarta.

Mantra, I.B. Prof. Dr., Tata Susila Hindu Dharma,
PHDIP Bag. Penyalur – Penerbit, 1982.

Oka Netra, A.A. Gde, Drs., Tuntunan Dasar Agama Hindu,
Ditjen Bimas Hindu dan Budha, 2001.

Pendit, S. Nyoman., Bhagavadgita,
PT. Daya Prana Press, Jakarta, 1988.

Sura, I Gede, Drs., Pengendalian Diri dan Etika Dalam Agama Hindu, 1985.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar