.....ehmmmmmmm.......

welcome to the area's ankga evil
enjoy reading what's there ....
before you get into my world, I suggest that you pray God presented to each of you.

Jumat, 25 Februari 2011

MAKNAI KEMBALI KONSEP TAPA

Maknai Kembali Konsep Tapa

Antisipasi Tindakan Kekerasan di Kalangan Umat Maknai Kembali Konsep "Tapa"
Menyikapi tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini, tampaknya umat mesti memaknai kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Hindu. Hindu memiliki banyak konsep yang adiluhung, tetapi terkadang dalam tataran nilai muncul perilaku umat yang menyimpang. Artinya, dalam realitasnya terjadi perilaku yang kontradiktif dengan apa yang diajarkan agama. Apa saja nilai-nilai adilihung itu? Bagaimana seharusnya umat memaknai nilai tersebut agar tidak terjadi tindakan kekerasan?

=======================

Dalam sebuah dharma wacana, Ida Pedanda Gede Made Gunung sempat mengatakan bahwa umat mesti tetap melakukan tapa, yadnya dan kerthi. Dengan demikian diharapkan umat menemukan tujuan hidup, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Tapa, kata Ida Pedanda, mengandung pengertian pengendalian pikiran atau hawa nafsu. Itu berarti umat mesti mampu menghilangkan kesombongan diri, iri hati dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri.

Bahkan, menurut Ida Pedanda, simbol pengendalian pikiran, dalam Hindu juga diwujudkan dalam bentuk destar (udeng). Destar, tak hanya memiliki fungsi aksesoris, tetapi juga simbol pengekangan hawa nafsu. Sedangkan kerthi mengandung pengertian bahwa umat mesti melakukan pengabdian, baik kepada bangsa dan negara, perusahaan tempat bekerja, maupun kepada keluarga. Jika hal itu bisa dilakukan secara seimbang, tentu kebahagiaan hidup akan bisa dirasakan. Kebahagiaan itulah merupakan sorga di dunia nyata. Kebahagiaan semacam itu diharapkan ditemukan juga di dunia akhirat (sorga).

Hal senada dikatakan dosen Unhi Wayan Budi Utama. Ia mengatakan bahwa Hindu memiliki banyak konsep atau nilai yang adiluhung. Tetapi dalam tataran implementasi, kerap ditemui perilaku menyimpang. Gesekan karena berbeda identitas, belakangan sering muncul ke permukaan. Demikian pula tindakan kekerasan lainnya, sering mewarnai kehidupan. Hal itu terjadi, menurut Budi Utama, karena kuatnya pengaruh kapitalisme atau imprealisme -- yang berpeluang munculnya sikap individualisme. Jika individualisme demikian kuat, nilai-nilai kebersamaan, konsep penyamabrayan, lambat-laun bisa luntur. Jika itu sudah luntur, gesekan-gesekan dalam bentuk apa pun dengan mudah pula terjadi. Misalnya, hanya berbeda aspirasi, antar-nyama bisa tak bertegur sapa.

Karena itu, menurut Budi Utama, umat perlu memaknai kembali ajaran agama atau menginterpretasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sastra agama. Demikian juga pentingnya kembali umat melakukan kontemplasi (perenungan). Dengan demikian diharapkan persoalan kemanusiaan bisa diatasi. Sebab, persoalan kemanusiaan tak sepenuhnya bisa diatasi hanya dengan pola pikir ilmiah. Persoalan kemanusiaan bisa diselesaikan dengan pendekatan spiritual.

Tak Bermakan Ritual

Dikatakan, banyaknya hari raya yang dimiliki umat Hindu, tak hanya bermakna ritual. Tetapi, hari-hari raya itu dimaknai sebagai kesempatan untuk melakukan koreksi diri atau evaluasi diri. Yang terpenting lagi dalam hari raya itu umat mampu mulatsarira, sehingga diharapkan dapat kembali pada kasujatian diri. Hari raya itu tak lain untuk mengingatkan dan menyucikan pikiran kita.

Dalam situasi carut-marut seperti ini, Budi Utama mengharapkan umat tidak mengartikulasikan Kali Yuga sebagai zaman penuh kekacauan, sehingga semua perbuatan menyimpang dianggap sebagai pakibeh gumi. Jangan sampai ciri-ciri zaman Kali ini dijadikan pembenar untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Mengapa demikian? Sebab, agama dengan tegas melarang umatnya melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sekarang berbagai problem patologi sosial sering muncul ke permukaan. Justru problem itu dianggap wajar karena pengaruh zaman Kali, katanya.

Konsep atau nilai luhur yang ada dalam ajaran agama mesti kembali dimaknai untuk mengantisipasi munculnya tindakan kekerasan. Kita tak berharap agama hanya dimaknai sebatas formal. Padahal, agama mengajarkan umatnya melakukan kesalehan sosial dan berdisiplin, ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Guru Besar Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. bahwa agama justru bertujuan untuk mengagungkan atau memuliakan segala tingkah laku manusia. Bukan membuat tafsir-tafsir atau mencari aksioma baru untuk membenarkan perbuatan yang nyata-nyata menyimpang. Tetapi itu yang cenderung terjadi selama ini, katanya.

Weda yang merupakan kitab suci Hindu, kata mantan Sekjen Parisada Pusat ini, sangat kental dengan nilai-nilai moral. Tiap tradisi agama dan filsafat yang berkembang dari spirit Weda diwarnai oleh nilai-nilai moral. Secara umum terdapat beberapa nilai moral dalam Weda yaitu kebenaran (satya), kemurahan hati (dana), pengendalian diri (tapa), tanpa kekerasan (ahimsa) dan rasa iba (compassion). Satya merupakan nilai yang paling penting di dalam Hindu. Agama mengajarkan umat menjadi manusia yang benar, menghindari segala bentuk kebohongan, kecurangan, keangkuhan dan kesalahan.

Pengendalian diri (tapa) juga menempati posisi penting dalam mewujudkan keseimbangan unsur fisik dan mental, unsur sekala dan niskala, material dan spiritual. Pengendalian diri menjadi sangat penting manakala kita mewujudkan ketenangan pikiran, sehingga mampu merefleksikan diri yang selalu ditutupi oleh indra dan ahamkara (ego), ujar mantan anggota DPRD Badung dan Bali ini. Ahimsa, kata Gunadha, tak hanya menyangkut tindakan tetapi juga pikiran dan perkataan. Kekerasan yang terjadi selama ini di berbagai daerah sebenarnya dimulai dari kekerasan dalam pikiran. Sudah menjadi semacam dalil bahwa produk-produk apa saja yang lahir dari pikiran (manah) sangat rentan dengan kekerasan. Karena itu umat mesti berpikir, berkata dan bertindak tidak sampai menyebabkan orang lain ketakutan serta cemas.

Mampu Mengendalikan Diri

Manusia yang ideal, kata Gunadha, adalah mereka yang mampu mengendalikan diri, berbuat baik kepada sesama, dan selalu siap mengorbankan hidupnya demi kebaikan orang lain (gumawe sukaning len). Dikatakannya, pengendalian diri (tapa) amat penting ditajamkan pemaknaannya. Dalam konteks kekinian, sesorang mesti berupaya keras melakukan tapa agar tidak terjadi perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Umat hendaknya tidak seperti gula atau garam yang jika dimasukkan ke dalam air menjadi larut. Umat mesti mampu seperti minyak dengan air. Kendati dijadikan satu, keduanya tetap tidak larut.

Di samping itu, yasa kerti juga penting lebih dikedepankan. Pengabdian kepada hal yang lebih besar, seperti ngertian jagat agar rahayu penting lebih dimantapkan. Tak kalah pentingnya umat melakukan upawasa (puasa).
Puasa di sini, tak hanya berarti tidak makan dan minum. Luas dari pengertian itu, umat mesti melakukan puasa berbicara yang justru memprovokasi orang lain untuk melakukan tindakan yang menyimpang. Puasa bentuk lainnya, tidak berpikir negatif terhadap orang lain dan tidak menyakiti hati orang lain. Yang terpenting lagi, umat berpuasa tidak melakukan tindak kekerasan, terlebih dengan nyama braya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar