.....ehmmmmmmm.......

welcome to the area's ankga evil
enjoy reading what's there ....
before you get into my world, I suggest that you pray God presented to each of you.

Sabtu, 05 Maret 2011

PUNK...............!!!!!!!!!!!!!

SUKA BIKIN RUSUH?G BANGET......!!!

Jangan selalu mencap miring anak punk, kalo belon dekat. Mereka emang cuek, tapi juga tau diri. Kenapa mesti berpakaian lusuh?

“Awas anak punk!” Peringatan kayak gitu masih sering terdengar begitu melihat segerombolan anak punk di jalan. Maklum, penampilan anak punk emang bikin “keder” banyak orang. Jaket lusuh yang dipenuhi emblem, sepatu boots Doc Mart, celana panjang ketat, spike (gelang berjeruji) di tangan, rambut tajamnya yang bergaya mohawk (mohak) bikin punkers terkesan garang.

Bukan hanya penampilan yang membuat imej punk jadi “lain” dari komunitas remaja kebanyakan, tapi juga tingkah mereka. Bergerombol di jalan, kadang sampe pagi, dan kadang suka terlibat tawuran. Maka, kompletlah punk kena cap sebagai komunitas yang bermasalah. Padahal, apa sebenernya anak punk kayak gitu? Tukang bikin rusuh?

“Salah banget kali, orang-orang ngelihat kita kayak sampah masyarakat. Mereka yang mikir begitu, sebenarnya nggak tau apa-apa tentang kita,” kata mrX , salah satu anak punk Jakarta Timur .(sori kudu pakek nama samaran)

Menurut mrX, penampilan punk yang lusuh bukan berarti kelakuan mereka juga minus. Apalagi penampilan kayak gitu udah menjadi cirri khas punk. Mungkin kelihatan lusuh, dekil, kayak orang aneh, tapi kita nggak pernah ngelakuin tidak criminal kayak maling. “Kalo ada anak punk yang malak, dia nggak ngerti arti punk sebenarnya. Mungkin cuma dandanan luar doang yang punk, dalemnya nggak tau apa-apa,” tambah cowok berusia 16 tahun ini serius.

Tapi nggak bisa dipungkiri, penampilan, punk yang sering kelihatan lusuh nggak terlepas dari sejarah kelahiran punk itu sendiri. Menurut mrX, punk lahir di jalanan, dari orang-orang yang tertindas kayak gembel, buruh dan gelandangan yang benci sama kapitalis di Eropa. Mereka benci ama orang kaya yang serakah dan penindas orang miskin.

“Mereka akhirnya terbuang, sampe terus bikin komunitas sendiri. Tapi, kalo lantas dianggap kriminal, ya salah. Punk malah punya jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi, terutama buat kelompoknya. Mereka juga memihak rakyat kecil,” jelas mr.X panjang lebar.

BANYAK ALIRAN

Penampilan seperti itu, juga diikutin abis ama anak punk di Indonesia. Tapi, bukan karena semata karena penampilan yang bikin banyak remaja tertarik masuk kedalam komunitas punk, melainkan karena motto anak punk itu sendiri. Equality (persamaan hak) misalnya, termasuk yang bikin banyak remaja jatuh hati.

“Tadinya aku juga nggak suka ama anak punk, tapi begitu aku coba gaul ama mereka, aku jadi tertarik. Mereka mementingkan kebersamaan dalam segala hal, prinsip itu yang nggak aku temuin di komunitas lain,” cerita joko (bukan nama sebenarnya) yang udah jadi anak punk sejak duduk di kelas I SMP.

Joko makin jatuh hati ketika ia merasa cocok ama musik khas anak punk yang underground. Udah gitu lewat jalur indie label, cowok yang duduk di kelas II SMP ini merasa bebas berkreasi .Nggak bakal kena pengaruh ama perusahaan rekaman yang cenderung komersil. Pokoknya ia merasa bebas.

Tapi, diakui Joko, begitu gabung ama komunitas punk, gaya hidupnya berubah. Dandanan udah pasti. Selain itu, ia jarang di rumah. Biasanya nongkrong ama sesama anak punk. Kadang sampe pagi, terutama kalo hari libur. Pas nongkrong, biasanya mereka ngobrol dan berdiskusi tentang musik atau komunitas punk. Nggak jarang, mereka sering bertandang ke komunitas punk di tempat lain.

“Itu jadi semacam ‘kegiatan’ wajib. Selain bisa tau info baru tentang punk, kita juga bisa nambah temen baru,” tukas Joko.

POLITIK DAN GAYA

Ada juga kelompok lain yang sodaraan ama punk, yaitu skinheads. Aliran yang “berkiblat” ama Nazi ini konon lebih brutal dan rasis (benci ama kelompok tertentu) disbanding punk lainnya. Di negara asalnya, kelompok yang biasanya disebut skinheads Nazi ini memang sangat berbahaya. Tapi di Indonesia, cenderung nggak rasis. Bahkan penampilannya lebih gaya ketimbang di nagri. Kelompok yang lahir dari kaum pekerja itu masih banyak yang antiras.

Ada juga yang namanya skinheads politik. Kelompok ini menurut joko lebih banyak terlibat ama dunia politik di Indonesia, bahkan sering ikut aksi ama PRD. Maklum karena mereka punya prinsip yang sama di bidang politik. “Mereka ikut karena paham masa depannya sejalan dengan PRD,” tambah joko.

Yang menarik, ada kelompok yang menamakan dirinya straight edge. Bukan seperti punk yang lainnya, komunitas ini punya sikap yang lumayan “bersih” disbanding punk lain. Misalnya, mereka antirokok, anti-seks bebas, dan vegetarian. “Tapi disini nggak banyak,” kata joko.

Menurut joko, kalo nongkrong, nggak semua anak punk suka nge-drugs. “Tapi aku akuin, ada yang suka minum – minum. Tapi, kalo yang namanya junkies tinggalin deh! Anak punk udah nggak setuju ama yang namanya junkies,” tambah joko

Uniknya, meski mereka setia ama prinsip dan aturan dalam komunitas, hampir dipastikan anak punk nmggak punya tokoh yang patut dijadikan panutan. Boleh jadi karena kebersamaan. Jadi kalo pun dianggap idola biasanya mereka menyebut Hitler. Tapi kebanyakan lebih suka menyebut nama band kayak Sex Pistols dan The Bussiness. Itu pun mereka kagum karena aliran musiknya yang menurut mereka keren punya.

“Namanya equality, jadi semuanya sama. Nggak pake pimpinan segala,” jelas joko

PUNK : Do It Yourself dan Anti Kemapanan

Punk sebagai jenis musik, masuk ke tanah air pada tahun 1980-an, bersamaan dengan kegandrungan anak-anak muda pada grup band politis asal Inggris, Sex Pistol. Awal tahun 1990-an, beberapa anak muda di Bandung kemudian mencoba mengartikulasi budaya impor itu dengan berdandan punk: rambut berdiri (mohawk) yang dilengkapi berbagai asesoris khasnya.

Agak unik ngobrol dengan komunitas ini. Mereka punya sikap tegas dan berani berbeda secara prinsip. “Menurut gue, punk itu mengembalikan kontrol atas diri loe sendiri. Do it Yourself dan anti kemapanan,” terang Ika, yang juga kerap disebut Peniti Pink, salah satu anggota komunitas punk di Jakarta. Dalam kacamata Ika, punk lebih kepada persoalan melawan, bukan memberontak. “Kami melawan ketidakadilan, melawan dari tekanan, bukan memberontak tapi melawan. Anti kemapanan dalam arti menolak segala sesuatu yang sudah jadi status quo,” tegas cewek yang dikontak via email itu.

Sebagai seorang perempuan, Ika tidak merasakan adanya perbedaan perlakuaan antara punkers cewek dan cowok. “Dalam skala besar, keterwakilan punker cewek memang tidak sebesar yang cowok. Tapi sekarang sudah lumayan menonjol dan punya pengaruh juga,” tambah Ika. Menurut Ika yang kerap menulis soal punk dan perempuan, punk mampu melihat perempuan dengan lebih adil dan fair dibanding mainstream.

Soal tudingan komunitas punk banyak mengumbar kata-kata provokatif, Ika menolaknya. “Tidak juga. Organ-organ politik dan agama di Indonesia, kayaknya malah lebih provokatif deh,” kilahnya. Tapi Ika tidak menolak jika punk juga menjadi bagian dari gaya hidup. “Punk juga bisa jadi fesyen, musik, atau apapun yang gue rasa punk bisa masuk ke dalamnya,” tandasnya Ika lagi. Tapi percaya atau tidak, Ika mengaku tidak berharap apa-apa dari scene punk di Indonesia. “Tidak ada yang gue harapkan,” tegasnya.

Perkembangan scene punk –komunitas, gerakan, musik, fanzine, dan lainnya– paling optimal adalah di Bandung, disusul Malang, Yogyakarta, Jabotabek, Semarang, Surabaya, Bali.dan Blitar(jawa timur) Parameternya adalah kuantitas dan kualitas aktivitas: bermusik, pembuatan fanzine (publikasi internal), movement (gerakan), distro kolektif, hingga pembuatan situs.

Meski demikian, secara keseluruhan, punk di Indonesia termasuk marak. Profane Existence, sebuah fanzine asal Amerika menulis negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka Bumi adalah Indonesia dan Bulgaria. Bahwa `Himsa`, band punk asal Amerika sampai dibuat berdecak kagum menyaksikan antusiasme konser punk di Bandung.

Di Inggris dan Amerika –dua negara yang disebut sebagai asal wabah punk, konser punk hanya dihadiri tak lebih seratus orang. Sedangkan di sini, konser punk bisa dihadiri ribuan orang.

Mereka kadang reaktif terhadap publikasi pers karena khawatir diekploitasi. Pers sebagai industri, mereka anggap merupakan salah satu mesin kapitalis. Mereka memilih publikasi kegiatan, konser, hingga diskusi ide-ide lewat fanzine.

Punk not DEAD!!!

Komunitas yang satu ini memang sangat berbeda sendiri dibandingkan dengan komunitas pada umumnya. Banyak orang yang menilai bahwa komunitas yang satu ini termasuk salah satu komuitas yang urakan, berandalan dan sebagainya. Namun jika dicermati lebih dalam banyak sekali yang menarik yang dapat Anda lihat di komunitas ini. Punk sendiri terbagi menjadi beberapa komunitas-komunitas yang memiliki ciri khas tersendiri, terkadang antara komunitas yang satu dengan komunitas yang lain juga sering terlibat masalah. Walaupun begitu mungkin beberapa komunitas Punk di bawah ini dapat mempengaruhi kehidupan Anda sehari-hari.

Punk Community

Anarcho Punk
Komunitas Punk yang satu ini memang termasuk salah satu komunitas yang sangat keras. Bisa dibilang mereka sangat menutup diri dengan orang-orang lainnya, kekerasan nampaknya memang sudah menjadi bagiandari kehidupan mereka. Tidak jarang mereka juga terlibat bentrokan dengan sesama komunitas Punk yang lainnya.
Anarcho Punk juga sangat idealis dengan ideologi yang mereka anut. Ideologi yang mereka anut diantaranya, Anti Authoritarianism dan Anti Capitalist.Crass, Conflict, Flux Of Pink Indians merupakan sebagian band yang berasal dari Anarcho Punk.

Crust Punk
Jika Anda berpikir bahwa Anarcho Punk merupakan komunitas Punk yang sangat brutal, maka Anda harus menyimak yang satu ini. Crust Punk sendiri sudah diklaim oleh para komunitas Punk yang lainnya sebagai komunitas Punk yang paling brutal. Para penganut dari faham ini biasa disebut dengan Crusties. Para Crusties tersebut sering melakukan berbagai macam pemberontakan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Musik yang mereka mainkan merupakan penggabungan dari musik Anarcho Punk dengan Heavy Metal. Para Crusties tersebut merupakan orang-orang yang anti sosial, mereka hanya mau bersosialisasi dengan sesama Crusties saja.

Glam Punk
Para anggota dari komunitas ini merupakan para seniman. Apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari sering mereka tuangkan sendiri dalam berbagai macam karya seni. Mereka benar-benar sangat menjauhi perselisihan dengan sesama komunitas atau pun dengan orang-orang lainnya.

Hard Core Punk
Hard Core Punk mulai berkembang pada tahun 1980an di Amerika Serikat bagian utara. Musik dengan nuansa Punk Rock dengan beat-beat yang cepat menjadi musik wajib mereka. Jiwa pemberontakan juga sangat kental dalam kehidupan mereka sehari-hari, terkadang sesama anggota pun mereka sering bermasalah.

Nazi Punk
Dari sekian banyaknya komunitas Punk, mungkin Nazi Punk ini merupakan sebuah komunitas yang benar-benar masih murni. Faham Nazi benar-benar kental mengalir di jiwa para anggotanya. Nazi Punk ini sendiri mulai berkembang di Inggris pada tahun 1970an akhir dan dengan sangat cepat menyebar ke Amerika Serikat. Untuk musiknya sendiri, mereka menamakannya Rock Against Communism dan Hate Core.

The Oi
The Oi atau Street Punk ini biasanya terdiri dari para Hooligan yang sering membuat keonaran dimana-mana, terlebih lagi di setiap pertandingan sepak bola. Para anggotanya sendiri biasa disebut dengan nama Skinheads. Para Skinheads ini sendiri menganut prinsip kerja keras itu wajib, jadi walaupun sering membuat kerusuhan mereka juga masih memikirkan kelangsungan hidup mereka. Untuk urusan bermusik, para Skinheads ini lebih berani mengekspresikan musiknya tersebut dibandingakan dengan komunitas-komunitas Punk yang lainnya. Para Skinheads ini sendiri sering bermasalah dengan Anarcho Punk dan Crust Punk.

Queer Core
Komunitas Punk yang satu ini memang sangat aneh, anggotanya sendiri terdiri dari orang-orang “sakit”, yaitu para lesbian, homoseksual, biseksual dan para transexual. Walaupun terdiri dari orang-orang “sakit”, namun komunitas ini bisa menjadi bahaya jika ada yang berani mengganggu mereka. Dalam kehidupan, anggota dari komunitas ini jauh lebih tertutup dibandingkan dengan komunitas-komunitas Punk yang lainnya. Queer Core ini sendiri merupakan hasil perpecahan dari Hard Core Punk pada tahun 1985.

Riot Grrrl
Riot Grrrl ini mulai terbentuk pada tahun 1991, anggotanya ialah para wanita yang keluar dari Hard Core Punk. Anggota ini sendiri juga tidak mau bergaul selain dengan wanita. Biasanya para anggotanya sendiri berasal dari Seattle, Olympia dan Washington DC.

Scum Punk
Jika Anda tertarik dengan Punk, mungkin ini salah satu komunitas yang layak untuk diikuti. Scum Punk menamakan anggotanya dengan sebutan Straight Edge Scene. Mereka benar-benar mengutamakan kenyamanan, kebersihan, kebaikan moral dan kesehatan. Banyak anggota dari Scum Punk yang sama sekali tidak mengkonsumsi zat-zat yang dapat merusak tubuh mereka sendiri.

The Skate Punk
Skate Punk memang masih erat hubungannya dengan Hard Core Punk dalam bermusik. Komunitas ini berkembang pesat di daerah Venice Beach California. Para anggota komunitas ini biasanya sangat mencintai skate board dan surfing.

Ska Punk
Ska Pun merupakan sebuah penggabungan yang sangat menarik antara Punk dengan musik asal Jamaica yang biasa disebut reggae. Mereka juga memiliki jenis tarian tersendiri yang biasa mereka sebut dengan Skanking atau Pogo, tarian enerjik ini sangat sesuai dengan musik dari Ska Punk yang memiliki beat-beat yang sangat cepat.


Gaya para punkers tersebut nampaknya semakin marak dikenakan akhir-akhir ini, jika begitu mungkin Anda setuju dengan ungkapan PUNK UNTIL THE DIE..!!

Posted by didiet zone at 8:59 PM 0 comments
Monday, September 15, 2008
SEJARAH SKIN HEAD & MUSIK Oi


Skinhead adalah suatu sub-budaya yang lahir di London, Inggris pada akhir tahun 1960-an. Sekarang Skinhead sudah menyebar ke seluruh belahan bumi. Nama Skinhead merujuk kepada para pengikut budaya ini yang rambutnya dipangkas botak. Sebelum bermulanya era Skinhead, ada golongan remaja yang dipanggil Mods yang menjadi pemula kepada skinheads.

Musik Oi,masuk ke Indonesia sekitar tahun 90-an. Ketika terjadi booming Ska di Indonesia saat itu, bermunculan banyak skinhead. Pendengar musik ini selain Skinhead juga ada punks, rude boys, ska, mods dan herberts (orang yang suka dengan Oi! tapi bukan skinhead atau punks). Irama Oi cenderung beat cepat dan lirik lagu dibawakan layaknya musik hardcore. Untuk tetap eksis dan juga memperingati hari Kebangkitan Nasional, skinhead berkumpul di Bali untuk mengelar konser musik “Bali Shinhead Jambore – Indonesia Bersatu" di Jak Resto, Sunset Road, Kuta (20/05).
Menurut salah satu band Oi! asal Bali, Workman, konser ini bertujuan untuk mempererat komunitas skinhead Indonesia, juga untuk menumbuhkan semangat nasionalisme anak bangsa. Mereka membawakan lagu ciptaan sendiri tentang patriotisme, nasionalisme, kelas pekerja dan juga tentang hidup ala skinhead. ”Lirik lagu dalam Oi! merupakan musik para skinhead yang liriknya tentang kehidupan skinhead sendiri, patriotisme, nasionalisme dan cenderung bercerita tentang anti-rasis, fasis, protes, kelas pekerja kebersamaan serta sepak bola menjadi inspirasi. “Lagu tersebut dibawakan dengan alunan musik yang cepat dan memakai suara hardcore,” jelas Tiger vokalis grup Workman.
Tribun Timur band asal Malang, lewat gitarisnya, Haris alias Pistol mengungkap bahwa musik Oi bukanlah prioritas bagi kaum skinhead, terlebih hanya untuk menyalurkan hobi dan sebagai ungkapan hati atas kejadian sekeliling, sepak bola, kehidupan jalanan skinhead, nasionalisme dan patriotisme. “Lewat musik Oi! pesan yang ingin disampaikan lebih cepat diterima kalangan muda. Selain itu untuk mempersatukan komunitas skinhead yang eksistensinya di Indonesia tidak begitu terlihat. Namun, musik bukanlah nomor satu bagi skinhead, terpenting adalah bagaimana tetap bertahan hidup dan bekerja keras, solidaritas antar sesama manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” Oi Oi Oi.......
Posted by didiet zone at 12:15 AM 0 comments
Thursday, September 11, 2008
BIOGRAFI ENDANK SOEKAMTI


Tanggal 1 Januari 2001 begitu berarti untuk tiga orang berandalan dari jogja Erix, Ari & Dori!


Berawal dari keisengan & banci tampil,Erix mengajak Ari & Dori untuk memikat lawan jenis dengan nge-jamn disebuah event dimlm pergantian tahun. Applaus ratusan orang yang memadati Java café jogja menggema setiap lagu selesai dimainkan.

Respon baik dari teman-teman musisi dimlm itu membuat trio ini memutuskan untuk tetap jalan, dari situ timbul nama “nyleneh” Endank Soekamti.

Walopun terkesan asal-asalan,Nama Endank Soekamti mengandung filosofi yin dan yang bagi mereka. Dua nama tersebut merupakan 2 pribadi yang sangat berbeda. Nama Endank dicomot dari si Endang gebetan Ari yang begitu cantik dan baik hati, Sedangkan Soekamti diambil dari ibu guru Erix yang judes, jahat & galak. Yapz… cukup untuk mewakili baik & buruk.

Setelah itu mereka mulai latihan di studio untuk persiapan mengikuti beberapa acara lokal.anehnya mereka ga pernah lolos seleksi & berakhir sebagai penggembira. Merasa dendam & ga puas sebagai penonton, mereka merubah strategi dengan membuat 2 lagu demo, setelah itu melakukan pendekatan ke radio-radio. Alhasil 2 lagu mereka sukses diputar di radio. Berkat lagu yang tiap pagi siang & malam mereka request sendiri di radio sebagai pancing, Jogjakarta pun pelan2 mulai mengenal Endank soekamti Sampai akhirnya tiba juga banyak orang suka & merequest lagu mereka.. Boomm!!! 6 bulan menjadi top request Endank Soekamti meroket di kota sendiri. Mulai dari situ tawaran manggung ga pernah sepi...,he he.. Bahkan hampir Semua event lokal dikampus2 menampilkan mereka sebagai bintang tamu.

Belum puas dengan botol sebagai bayaran, mereka memutuskan untuk berjuang menuju industri musik nasional. Diakhir tahun 2002 mereka mencoba membuat demo secara digital recording dirumah sendiri untuk dikirim ke label-label besar di Jakarta.Karna bosan menunggu tanggapan dari Jakarta,Erix Dory Ari melakukan diskusi dengan senior2 musisi dijogja,disitulah Pongky jikustik dan tony trax terinspirasi untuk membuat sebuah Label & merekrut Endank soekamti sebagai artisnya.

Juni 2003 Endank Soekamti merilis album pertama “KELAS I” dibawah bendera Proton Record, tak disangka jika respon pendengar musik nasional sangat antusias dengan album ini. Data sampai akhir 2006 mencatat 40ribu keping telah terjual.

Seiring dengan semakin dikenalnya Endank Soekamti muncul sekumpulan anak2 muda yg menamakan diri sebagai kamtis family (fans Endank Soekamti) di berbagai penjuru kota di Indonesia yang jumlahnya semakin hari semakin banyak. Dukungan kamtis membuat mereka lebih bersemangat bertahan di gilanya industrii music indonesia.

Ditahun 2004 Endank Soekamti mulai dilirik Warner Music Indonesia & 2005 akhirnya endank soekamti merilis album kedua “Pejantan Tambun” dibawah Label besar Warner Music Indonesia.

Melewati perjuangan dari panggung kepanggung sepanjang tahun 2005-2006 album ini mengalami penurunan terjual 30.000 copy . Ironisnya showcase mereka tercatat dengan jadwal yang lbh padat. Bahkan ditahun itu Endank soekamti sempat mendapat gelar RAJA PENSI diJKT.

Di tahun 2007 mereka merilis album ketiga dengan judul “sssttt!!!”. Album yang penuh experiment ini direkam & dimixing sendiri dirumah dengan alat yang serba sederhana. mereka juga menambah pendewasaan lagu tanpa mengurangi cirri khas mereka yg sedikit nakal. Sound yg dihasilkan pun bs dipertanggung jawabkan, bahkan banyak yang berpendapat sound album ketigalah yang paling matang . Dialbum ini juga sebuah pembuktian bahwa Endank soekamti termasuk band yg sangat survive & exis. bahkan banyak yang berpendapat sound album ketigalah yang paling matang.
Demikian sedikit tentang Endank Soekamti sebagai salah satu band rock Indonesia.
<>
Posted by didiet zone at 8:49 AM 0 comments
PUNK BUKAN SAMAPAH MASYARAKAT!!


Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk lebih terkenal dari hal FASION yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker. Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama
beberapa komunitas punk di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Mereka membuat label rekaman sendiri untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran. Kemudian usaha ini berkembang menjadi semacam toko kecil yang lazim disebut distro. CD dan kaset tidak lagi menjadi satu-satunya barang dagangan. Mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Seluruh produk dijual terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau. Dalam kerangka filosofi punk


So apakah punk adalah sampah masyarakat atau lebih kepada sekelompok anak muda yang kreatif dan coba membahasakan hidup dengan bahasanya sendiri(i am A barker)
Posted by didiet zone at 8:33 AM 0 comments

ANTI NAZISME ATAU ZIONISME?
ANTI NAZISME ATAU ZIONISME? Akhir-akhir ini kita sering dengar teriakan anti rasisme, anti fasisme, anti nazisme di kalangan undergrounder, namun belum ada terdengar yang berteriak anti zionisme. Yang menjadi pertanyaan kenapa hanya paham nazi yang diangkat sebagai pedoman pergerakan anti rasis dan diskriminasi di dunia ini, pertanyaan yang kami lemparkan ini bukan bentuk dukungan kami terhadap paham rasis dan diskriminasi khususnya nazisme Paham yang dipopulerkan oleh Adolf Hitler memang sangat melanggar hak asasi manusia, karena mereka beranggapan ras mereka (ras bangsa arya) lebih tinggi dari ras lainnya, serta menganggap rendah yang lainnya. Dalam prakteknya memang banyak orang-orang yahudi (tapi tidak hanya orang-orang yahudi) yang dibantai oleh rezim tersebut di Jerman, namun ironisnya hal ini dijadikan pedoman bagi bangsa yahudi untuk mengumpulkan orang-orang yahudi di dalam satu negara sebagai pelarian atas kekejaman rezim Hitler tersebut. Mereka (tokoh-tokoh yahudi) kembali menerapkan praktek yang lebih jahat dibandingkan paham nazi itu sendiri. Bahkan menurut ringkasan dokumen sidang darurat pendeta yahudi se-Eropa yang diadakan di Budapest tanggal 22 Januari 1952 menyatakan bahwa penindasan nazi terhadap orang yahudi adalah hasil konspirasi yahudi itu sendiri…berikut ini kutipan dari pidato sidang tersebut: “….untuk mencapai tujuan akhir, bisa saja kita (yahudi) memerlukan cara menyedihkan , seperti pernah kita lakukan pada masa Hitler, yaitu kita sendiri yang mengatur terjadinya peristiwa penindasan terhadap sebagian bangsa kita sendiri . dengan kata lain, kita akan menumbalkan sebagian putra bangsa kita sendiri pada suatu peristiwa yang akan kita atur dari belakang layar. Kita bisa mendapatkan alasan yang cukup untuk menarik simpati dan dukungan bangsa Eropa dan Amerika, serta dunia pada umumnya dari satu sisi…”. Melalui konspirasi mereka tokoh yahudi mulai mempropagandakan kata-kata 6 juta yahudi terbunuh. Nazisme sendiri terbentuk oleh pemilik-pemilik modal yahudi, yang kemudia didalam paham nazi terbagi menjadi 2, pihak yang satu mendukung para pemilik modal dan pihak lain merasa kesal dengan pemilik modal yahudi dan ingin menciptakan superioritas bangsa arya (nazi inilah yang membantai yahudi). Mereka tega membantai kaum mereka melalui paham yang ada demi konspirasi mereka menguasai dunia (baca: buku Yahudi Menggenggam Dunia). Penjajahan, diskriminasi, pembantaian terhadap rakyat Palestine yang jelas-jelas adalah pemilik tanah Al Quds dilakukan oleh orang yahudi sambil berlindung dibalik sejarah yang telah diputarbalikkan oleh mereka, selain bantuan dana, dukungan dari sekutu-sekutu mereka (negara-negara barat). Di dalam nazisme mereka mengusir dan membantai ras lain di negeri mereka sendiri (jerman) itu sudah dianggap kejam dan tidak berprikemanusiaan, lalu bagaimana dengan orang yahudi yang mengusir rakyat Palestine dari tanah mereka (dari hanya setitik negara israel pada peta dunia hingga menguasai hampir seluruhnya tanah Palestine), pembantaian pun dilakukan terhadap pengungsi Palestine yang umumnya beragama islam tersebut. Kecongkakan zionis lebih parah dari nazi (hal ini bukan bentuk dukungan terhadap nazi). Paham zionis bisa tumbuh berkembang didunia lebih dikarenakan faktor publikasi media massa, dana, dan konspirasi mereka dalam berbagai bidang. Oleh karena itu kami pun menolak segala bentuk diskriminasi, penjajahan tapi kenapa hanya anti nazisme yang dikumandangkan? Bagaimana dengan anti zionisme?. Bangsa yahudi selalu memasalahkan penindasan yang telah dilakukan oleh nazi terhadap orang-orang yahudi, tapi mereka sendiri melakukan penindasan, pengambilan paksa tanah, pembantaian terhadap rakyat Palestine. NAZISME ITU JAHAT, TAPI ZIONISME LEBIH JAHAT

Ketuhanan dalam Upanisad

Ketuhanan dalam Upanisad
Kitab upanisad dalam rentang waktu yang cukup lama. Tidak ada kepastian tentang jumlah kitab upanisad yang sesungguhnya. Dari catatan yang ada : Kitab Rg Veda memiliki 21 sakha, Yajur Veda memiliki 109 Sakha, Sama Veda memiliki 1.000 Sakha dan Atharva Veda memiliki 50 Sakha. Berdasarka jumlah Sakha itu, yaitu 1.180 buah, maka jumlah Kitab Upanisad seyogyanya 1.180 buah. Walaupun demikian secara tradisional telah diakui kepastiannya bahwa jumlah kitab upanisad itu adalah sebanyak 108 buah.
Adapun nama-nama Kitab Upanisad yang tergolong adalah :

a) Isa Upanisad
b) Kena Upanisad
c) Katha Upanisad
d) Prasna Upanisad
e) Mundaka Upanisad
f) Mandu kya Upanisad
g) Taitiriya Upanisad
h) Aitareya Upanisad
i) Chandogya Upanisad
j) Brhad Aranyaka Upanisad
k) Sweta Swatra Upanisad

Di samping itu itu ada pula nama lain yang ditambahkan ke dalam kategori penting, yaitu :

a. Kavsitaki Upanisad
b. Jabala Upanisad
c. Mahanarayana Upanisad
d. Paingala (Pingala) Upanisad

Diantara 11 buah kitab Upanisad di atas, maka Isa Upanisadlah yang merupakan Kitab Uapnisad terpenting karena kitab ini langsung merupakan bagian dari mantra Samhita. 18 mantra dari kitab Isa Upanisad, dan terutama mantra pertama, dapat dinyatakan sebagai ajaran yang paling essensi dari ajaran (agama) Hindu.
Ciri khas dari kitab-kitab Upanisad adalah dalam bentuk penyajian ajaran yang disampaikannya, yaitu selalu berbentuk dialog antara seorang murid yang bertanya kepada seorang guru dalam pendidikan. Demikian pula halnya di Indonesia, kita warisi pula bentuk penyajian semacam ini, misalnya dalam kitab-kitab tattwa seperti Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Agastya Parwa dan lain-lain.
Pokok-Pokok Ajaran Upanisad
Ajaran yang tercantum dalam kitab-kitab Upanisad itu merupakan reaksi dari kaum Ksatriya terhadap kekuasaan para Brahmana, pada jaman Brahmana. Pertentangan para kaum kstariya terhadap kaum agama itu diungkapkan dalam ajaran-ajaran Upanisad. Akan tetapi, kemudian ketika pengaruh ajaran-ajaran makin meluas, padahal para ksatriya lebih banyak berkecimpung dalam urusan politik, para brahmana menerima ajaran Upanisad ini bahkan memonopolinya sebagai ajaran yang tertinggi yang mereka hasilkan. Hal ini tidak mengherankan, karena Upanisad memang bukan buku filsafat, melainkan kitab keagamaan, yang diwahyukan sesuai dengan keadaan orang yang menerimanya, dan lingkungan ketika agama itu diberikan.
Adapun ajaran-ajaran pokok dalam Upanisad antara lain :
a) Brahman
Kata “Brahman” berasal dari akar kata “brh” berarti yang memberi hidup, menumbuhkan, menjadikan hidup, menjadikan berkembang meluap. Jadi kata “Brahman” berarti suatu pertumbuhan yang tidak henti-hentinya atau dengan kata lain berarti yang memimpin segalanya atau dengan kata lain berarti yang memimpin segalanya atau Tuhan Yang Maha Esa yang memerintah seluruh alam semesta dan segala isinya.
Pada jaman Brahmana, Brahman telah dianggap sebagai asal pertama alam semesta. Di dalam Upanisad ajaran ini dipikirkan secara lebih mendalam lagi, bahwa belum ada kesatuan pendapat di dalam kitab-kitab Upanisad tentang Brahman tadi. ada yang mengemukakan bahwa, Brahman sebagai Dewa tertinggi, yang lebih kuasa dari dewata yang lain. Dewa yang menjadi dewannya para Dewa atau tuhan, dari segala yang dipertaruhkan. Ada juga yang memandang para dewata sebagai penjelmaan Brahman di samping itu ada pandangan yang lebih menonjol lagi bahwa Brahman yang transenden, yang berada di luar alam semesta dan jauh di atas alam semesta dan di dalam diri manusia.
b) Atman
Atman berasal dari kata “an” yang artinya bernafas. Jadi atman adalah pusat segala fungsi jasmani dan rokhani manusia. Atman sebagai hakekat dasar dalam kehidupan manusia dianggap sebagai roh atau jiwa yang menyebabkan manusia itu hidup, mengalami rasa senang dan duka. Tetapi disadari pula jiwa dan atma itu kekal, tidak pernah mati dan karena itu pengalaman suka dan duka bukan merupakan sifatnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka atma merupakan sumber hidup yang menghidupkan semua makhluk dan atma bersemayam dalam badan (jasmani) makhluk.
c) Karma
Pada jaman Upanisad timbullah suatu ajaran yang disebut dengan karma. Kata karma berarti “perbuatan” seperti yang telah kita ketahui tentang ajaran karma bahwa ajaran ini berakar pada ajaran tentang rta pada jaman Veda Samhita. ajaran tentang rta dan yadnya yang memelopori ajaran tentang karma. Sebab ajaran karma mengemukakan bahwa baranh siapa berbuat baik akan mengalami yang baik tetapi jika berbuat jelek maka ia akan mengalami yang jelek.
Semula diajarkan bahwa hukum Karma ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang diakukan oleh setiap orang dalam hidupnya sekarang ini. Apa yang dilakukan dalam hidup sekarang ini maupun dalam kehidupan yang kemudian. Ajaran ini mengakibatkan timbulnya ajaran tentang samsara (kelahiran kembali).
d) Samsara
Telah juga dikemukakan bahwa pada jaman Brahmana, yang mendahului jaman Upanisad juga diajarkan tentang kelahiran kembali ini. Pada waktu itu kelahiran kembali di pandang masih biasa saja tetapi lama kelamaan timbul persoalan. Apa sebab dalam hidup sekarang ada perbedaan nasib. Ada yang dilahirkan sebagai brahmana, ksatriya dan lain-lain. Ada juga yang dilahirkan sebagai orang kaya, miskin, tinggi, rendah, cakep, jelek, cacat lain sebagainya, dan pada jaman itu timbul ajaran bahwa : karma bukan hanya menguasai hidup yang akan datang, melainkan juga hidup yang lalu. Jadi lingkaran inilah yang disebut samsara yang disebabkan oleh karmanya sendiri.
e) Moksa
Jika orang mati, rohnya yang halus pergi bersama-sama dengan karma wasananya, karena roh itu terikat akan karma wesana. Mengenai kelahiran kembali ini ada bagian upanisad yang mengungkapkan secara mithologis, bahwa orang yang menaklukkan dunia dengan persembahan korban, dengan kedermawaan dan kesederhanaan mereka itu. Jika meninggal jiwanya akan pergi ke alam sorga yang diantar oleh karma wesananya, lalu melalui karma masing-masing akan sampai ke alam Candra Loka (Alam sorga).
Supaya orang dapat memperoleh moksa yaitu bebas dari kelahiran kembali, yang tiada awal dan tiada akhirnya itu, ia harus membinasakan keinginannya atau mengendalikan nafsu-nafsu yang jahat. Syarat untuk menghapuskan diri sendiri, yaitu pengenalan bahwa atman adalah brahman. Manusia dalam mencapai sampai tingkatan hidup ini memerlukan latihan dan waktu yang lama sekali.
Pada umumnya ada tiga tingkatan, yaitu :
a. Srawana : tingkatan harus belajar mengenai kebenaran yang diajarkan dalam upanisad dari seorang guru.
b. Manam : tingkatan harus memantulkan pengetahuan yang telah dipelajarinya dengan maksud untuk meyakinkan diri, akan kebenaran ajaran itu.
c. Dhyana : tingkatan harus dengan tetap menyandarkan kepada kebenaran yang telah diyakini dengan budinya supaya ia dapat mengelami sendiri kesatuan itu.
Dari uraian di atas teranglah bahwa filsafat di dalam Upanisad ditujukan kepada agama, dengan tujuan terakhir ialah kelepasan manusia dari dunia yang fana ini yang disebut dengan moksa.

Tawuran, Siapa Takut?

Tawuran, Siapa Takut?


Jika di kota besar seperti Jakarta terjadi tawuran antar pelajar, itu sudah berita biasa. Namun, sungguh mengejutkan masyarakat di Bali berita tentang tawuran anak sekolah (SMP) yang melanda Bali khususnya kota Denpasar. Lebih mengejutkan lagi yang tawuran itu justru dari anak yang sekolahnya sudah memiliki nama dan presatasi papan atas. Di kedua sekolah itu telah dilakukan pembinaan yang baik. Prestasi sekolah itu pun telah diakui oleh masyarakat di daerah ini bahkan sampai tingkat nasional. Siapa menyangka akan terjadi tawuran?
Dengan terjadinya tawuran ini tampaknya tidak ada jaminan bahwa di suatu sekolah tidak akan terjadi tawuran. Jangankan di tingkat sekolah SMA/SMK—yang fisiknya sudah sebesar guru, di SMP saja ternyata sudah adu fisik. Bukan sebatas anak SMP, pernah juga terjadi keroyokan terhadap di salah satu SD di Denpasar Timur. Kebrutalan tidak memandang besarnya fisik. Dari kejadian ini tampaknya pertanda juga bahwa menjelang pemilu ada potensi konflik yang sangat besar pada masyarakat Bali, seperti kata salah seorang paranormal kondang (berita TV). Semogalah sebatas ramalan.
Sadar atau tidak, kita harus mengakui bahwa pendidikan yang mengarah kepada pembentukan karakter berbudi pekerti, kematangan emosional, dan spritual belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan bersama. Mengambinghitamkan salah satu pihak, misalnya sekolah atau orang tua, atas tawuran itu tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Yang menjadi pertanyaan kita selaku orang tua, mengapa anak-anak bisa tawuran?
Menurut penulis salah satu penyebab ABG tawuran adalah tayangan film di televisi. ABG yang sedang mencari jati dirinya tentu tidak lepas dari pigur yang menjadi idola mereka. Di samping itu mereka tidak seutuhnya dapat menangkap maksud kisah dalam film. Mengapa penulis berpendapat pengaruh dari film? Semenjak tayangan film-film remaja yang mengambil tokoh cerita anak sekolah, cara berpakian itu menjadi model anak remaja—berpakaian sekolah sesuka hatinya. Kini kondisi berpakian tokoh sinetron itulah yang diikuti oleh anak. Adanya aturan bagaimana berpakaian sekolah, mereka acuh tak acuh. Jadi, salah satu penyebab kekerasan anak sekolah adalah tayangan film remaja yang kurang berakar pada budaya—apalagi budaya lokal. Penulis, selaku guru, prihatin juga terhadap tayangan film di televisi yang mngisahkan kekerasan ABG. Adegan-adegan kekarasan itu telah membuat anak-anak semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang menjadi kekayaan hati nurani manusia.
Penyebab lain, banyak kalangan berpendapat bahwa hanya dengan menguasai IPTEK bangsa kita bisa maju. Memang tidak salah pendapat itu. Eh, ternyata yang terjadi lain. Kalangan ini lupa akan nilai-nilai. Kebanyakan anak kita kurang menguasai ilmu, ditambah perilakunya yang memprihatinkan. Jika dibiarkan terus, semakin rusaklah karakter dan kualitas pribadi anak-anak kita di masa-masa mendatang. Menjadi konsumen miras pun bukan rahasia lagi di kalangan remaja kita. Bukankah anak-anak tawuran di Jalan Surapati itu ada yang meneguk minunan keras sebelumnya (berita Bali Post, 21 Pebruari 2004)
Berkait kenakalan remaja, ada sejumlah persoalan yang perlu direnungkan. Apakah sekolah tidak mampu menanamkan nilai-nilai budi pekerti sebagaimana yang dilakukan oleh guru masa lalu? Pada konteks masa kini, apakah kita selaku orang tua juga sudah kehilangan nilai-nilai luhur kekayaan hati nurani sehingga egois? Atau, lingkungan masyarakat dan ditambah tayangan televisi sudah menyimpang dari budi pekerti? Tampaknya semua jawaban yang samar atas pertanyaan itu telah memicu anak untuk brutal terhadap temanya maupun lingkungannya. Bukankah juga anak tawuran gara-gara mereka kurang memperhatikan lingkungan—membuang plastik pembungkus es sembarangan?
Sesungguhnya anak krisis panutan. Sekarang semakin sedikit “orang tua” maupun “yang dituakan” memberi teladan kepada anak-anak. “Orang tua” maunya menang sendiri. Kesalahan dilimpahkan kepada anak-anak atau pihak lain. Sudah lumrah orang tua dan masyarakat menyalahkan sekolah, sekolah menyalahkan orang tua dan masyarakat. Saling menyalahkan. Kalau terus saling menyalahkan, tentu permasalahan tidak akan selesai bahkan semakin bertambah.
Perhatian setiap orang sangat diperlukan lebih-lebih pihak pemerintah selaku memegang kebijakan pendidikan. Kalau persekolahan kita sekarang didominasi oleh penekanan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat kebijaksanaan pemerintah terdahulu—sistem pendidikannya—yang hanya melihat pendidikan dari satu sisi, kecerdasan intelektual. Seolah-olah manusia dalam kehidupannya cukup dengan penguasaan iptek. Ini pendapat keliru karena menyimpang dari tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam GBHN—membentuk manusia seutuhnya yakni fisik dan mental.
Pendidikan budi pekerti dan iptek hendaknya diselaraskan. Khusus pada pendidikan dasar hendaknya diprioritaskan penanaman nilai-nilai dasar seperti mencintai sesama, keagamaan, sosialitas, gender, keadilan, demokrasi, kejujuran, kemandirian, tanggung jawab, penghargaan terhadap lingkungan. Keadaannya sangat berbeda dari harapan, tidak sedikit anak pada pendidikan tingkat dasar hingga menengah telah merasakan belajar sebabagi suatu beban. Orang tua dan guru sering mengeroyok anak dalam memaksakan kehendak sehingga mereka jenuh belajar. Kejenuhan mereka inilah kadang dilampiaskan dengan tawuran.
Sesungguhnya kejenuhan-kejenuhan berawal dari pendidikan di tingkat awal. Misalnya, anak TK sudah dipaksa agar bisa membaca, menulis, bahkan matematika. Ada kesan belajar itu kurang menyenangkan. Mestinya di TK adalah penanaman nilai-nilai budi pekerti lewat mendongeng (bersastra). Disayangkan pula kegiatan bersastra sangat tidak memadai pada pendidikan tingkat dasar (SD). Setelah anak menginjak remaja (SMP) baru diberikan sastra dengan penekanan yang sering salah—menekankan pengetahuan/hapalan, mestinya apresiasi terhadap nilai-nilai. Kalau pembelajaran sastra itu benar, di sinilah anak bisa belajar tentang karakter manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pendidikan budi pekerti tidak akan berhasil kalau kurang ada keteladanan dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan seperti guru, orang tua, aparatur pemerintah, penegak hukum, pemuka masyarakat, anggota legeslatif. Salahkah anak-anak tawuran kalau “orang tua” yang mestinya menjadi panutan sering berantem bahkan nyata-nyata berkelai di gedung terhormat (gedung DPR/MPR). Kalau “orang tua” mereka suka ribut, jangan salahkan anak-anak ribut. Jadilah “orang tua” yang bisa diteladani, bila perlu belajar bersama anak.

Jumat, 25 Februari 2011

MAKNAI KEMBALI KONSEP TAPA

Maknai Kembali Konsep Tapa

Antisipasi Tindakan Kekerasan di Kalangan Umat Maknai Kembali Konsep "Tapa"
Menyikapi tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini, tampaknya umat mesti memaknai kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Hindu. Hindu memiliki banyak konsep yang adiluhung, tetapi terkadang dalam tataran nilai muncul perilaku umat yang menyimpang. Artinya, dalam realitasnya terjadi perilaku yang kontradiktif dengan apa yang diajarkan agama. Apa saja nilai-nilai adilihung itu? Bagaimana seharusnya umat memaknai nilai tersebut agar tidak terjadi tindakan kekerasan?

=======================

Dalam sebuah dharma wacana, Ida Pedanda Gede Made Gunung sempat mengatakan bahwa umat mesti tetap melakukan tapa, yadnya dan kerthi. Dengan demikian diharapkan umat menemukan tujuan hidup, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Tapa, kata Ida Pedanda, mengandung pengertian pengendalian pikiran atau hawa nafsu. Itu berarti umat mesti mampu menghilangkan kesombongan diri, iri hati dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri.

Bahkan, menurut Ida Pedanda, simbol pengendalian pikiran, dalam Hindu juga diwujudkan dalam bentuk destar (udeng). Destar, tak hanya memiliki fungsi aksesoris, tetapi juga simbol pengekangan hawa nafsu. Sedangkan kerthi mengandung pengertian bahwa umat mesti melakukan pengabdian, baik kepada bangsa dan negara, perusahaan tempat bekerja, maupun kepada keluarga. Jika hal itu bisa dilakukan secara seimbang, tentu kebahagiaan hidup akan bisa dirasakan. Kebahagiaan itulah merupakan sorga di dunia nyata. Kebahagiaan semacam itu diharapkan ditemukan juga di dunia akhirat (sorga).

Hal senada dikatakan dosen Unhi Wayan Budi Utama. Ia mengatakan bahwa Hindu memiliki banyak konsep atau nilai yang adiluhung. Tetapi dalam tataran implementasi, kerap ditemui perilaku menyimpang. Gesekan karena berbeda identitas, belakangan sering muncul ke permukaan. Demikian pula tindakan kekerasan lainnya, sering mewarnai kehidupan. Hal itu terjadi, menurut Budi Utama, karena kuatnya pengaruh kapitalisme atau imprealisme -- yang berpeluang munculnya sikap individualisme. Jika individualisme demikian kuat, nilai-nilai kebersamaan, konsep penyamabrayan, lambat-laun bisa luntur. Jika itu sudah luntur, gesekan-gesekan dalam bentuk apa pun dengan mudah pula terjadi. Misalnya, hanya berbeda aspirasi, antar-nyama bisa tak bertegur sapa.

Karena itu, menurut Budi Utama, umat perlu memaknai kembali ajaran agama atau menginterpretasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sastra agama. Demikian juga pentingnya kembali umat melakukan kontemplasi (perenungan). Dengan demikian diharapkan persoalan kemanusiaan bisa diatasi. Sebab, persoalan kemanusiaan tak sepenuhnya bisa diatasi hanya dengan pola pikir ilmiah. Persoalan kemanusiaan bisa diselesaikan dengan pendekatan spiritual.

Tak Bermakan Ritual

Dikatakan, banyaknya hari raya yang dimiliki umat Hindu, tak hanya bermakna ritual. Tetapi, hari-hari raya itu dimaknai sebagai kesempatan untuk melakukan koreksi diri atau evaluasi diri. Yang terpenting lagi dalam hari raya itu umat mampu mulatsarira, sehingga diharapkan dapat kembali pada kasujatian diri. Hari raya itu tak lain untuk mengingatkan dan menyucikan pikiran kita.

Dalam situasi carut-marut seperti ini, Budi Utama mengharapkan umat tidak mengartikulasikan Kali Yuga sebagai zaman penuh kekacauan, sehingga semua perbuatan menyimpang dianggap sebagai pakibeh gumi. Jangan sampai ciri-ciri zaman Kali ini dijadikan pembenar untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Mengapa demikian? Sebab, agama dengan tegas melarang umatnya melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sekarang berbagai problem patologi sosial sering muncul ke permukaan. Justru problem itu dianggap wajar karena pengaruh zaman Kali, katanya.

Konsep atau nilai luhur yang ada dalam ajaran agama mesti kembali dimaknai untuk mengantisipasi munculnya tindakan kekerasan. Kita tak berharap agama hanya dimaknai sebatas formal. Padahal, agama mengajarkan umatnya melakukan kesalehan sosial dan berdisiplin, ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Guru Besar Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. bahwa agama justru bertujuan untuk mengagungkan atau memuliakan segala tingkah laku manusia. Bukan membuat tafsir-tafsir atau mencari aksioma baru untuk membenarkan perbuatan yang nyata-nyata menyimpang. Tetapi itu yang cenderung terjadi selama ini, katanya.

Weda yang merupakan kitab suci Hindu, kata mantan Sekjen Parisada Pusat ini, sangat kental dengan nilai-nilai moral. Tiap tradisi agama dan filsafat yang berkembang dari spirit Weda diwarnai oleh nilai-nilai moral. Secara umum terdapat beberapa nilai moral dalam Weda yaitu kebenaran (satya), kemurahan hati (dana), pengendalian diri (tapa), tanpa kekerasan (ahimsa) dan rasa iba (compassion). Satya merupakan nilai yang paling penting di dalam Hindu. Agama mengajarkan umat menjadi manusia yang benar, menghindari segala bentuk kebohongan, kecurangan, keangkuhan dan kesalahan.

Pengendalian diri (tapa) juga menempati posisi penting dalam mewujudkan keseimbangan unsur fisik dan mental, unsur sekala dan niskala, material dan spiritual. Pengendalian diri menjadi sangat penting manakala kita mewujudkan ketenangan pikiran, sehingga mampu merefleksikan diri yang selalu ditutupi oleh indra dan ahamkara (ego), ujar mantan anggota DPRD Badung dan Bali ini. Ahimsa, kata Gunadha, tak hanya menyangkut tindakan tetapi juga pikiran dan perkataan. Kekerasan yang terjadi selama ini di berbagai daerah sebenarnya dimulai dari kekerasan dalam pikiran. Sudah menjadi semacam dalil bahwa produk-produk apa saja yang lahir dari pikiran (manah) sangat rentan dengan kekerasan. Karena itu umat mesti berpikir, berkata dan bertindak tidak sampai menyebabkan orang lain ketakutan serta cemas.

Mampu Mengendalikan Diri

Manusia yang ideal, kata Gunadha, adalah mereka yang mampu mengendalikan diri, berbuat baik kepada sesama, dan selalu siap mengorbankan hidupnya demi kebaikan orang lain (gumawe sukaning len). Dikatakannya, pengendalian diri (tapa) amat penting ditajamkan pemaknaannya. Dalam konteks kekinian, sesorang mesti berupaya keras melakukan tapa agar tidak terjadi perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Umat hendaknya tidak seperti gula atau garam yang jika dimasukkan ke dalam air menjadi larut. Umat mesti mampu seperti minyak dengan air. Kendati dijadikan satu, keduanya tetap tidak larut.

Di samping itu, yasa kerti juga penting lebih dikedepankan. Pengabdian kepada hal yang lebih besar, seperti ngertian jagat agar rahayu penting lebih dimantapkan. Tak kalah pentingnya umat melakukan upawasa (puasa).
Puasa di sini, tak hanya berarti tidak makan dan minum. Luas dari pengertian itu, umat mesti melakukan puasa berbicara yang justru memprovokasi orang lain untuk melakukan tindakan yang menyimpang. Puasa bentuk lainnya, tidak berpikir negatif terhadap orang lain dan tidak menyakiti hati orang lain. Yang terpenting lagi, umat berpuasa tidak melakukan tindak kekerasan, terlebih dengan nyama braya sendiri.

MAKALAH FILSAFAT ILMU TENTANG HUBUNGAN ILMU DAN FILSAFAT

Sebelum penulis membahas tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan filsafat agar ada kejelasan kita harus tahu apa itu yang dinamakan dengan ilmu dan apa yang dinamakan filsafat.

1.Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui.1 Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”.2 Secara umum pengertian dari kata “tahu”
ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.3
Pendapat yang sama diungkapkan M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm. Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.4
Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana.5 S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta.6 Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.7 Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.
Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah.

2.Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.8
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”9
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.10
Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.11
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
1.Pengetahuan tentang hikmah
2.Pengetahuan tentang prinsip atau dasar
3.mencari kebenaran
4.Membahas dasar dari apa yang dibahas
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)12

3.Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat
Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen.13 Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi.14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.15
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya.
Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.
Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya
Selanjutnya kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya.

TATA SUSILA

I. PENDAHULUAN
Tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila ialah untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan mahluk yang hidup di sekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan antara manusia dengan alam sekitarnya (Mantra, 5).
Telah menjadi kenyataan bahwa hubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan mahluk sesamanya, antara anggota sesuatu masyarakat, suatu bangsa, manusia dan lain sebagainya, menyebabkan hidup yang aman, rukun, damai dan sentosa. Suatu keluarga, masyarakat, bangsa atau manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh, hancur dan ambruk. Hubungan yang rukun, selaras dan harmoni itu berarti kebahagiaan, dan sebaliknya hubungan yang kacau atau tidak rukun itu berarti kehancuran (mala petaka).
Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, warga masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia yang pada akhirnya dapat membimbing manusia untuk hidup harmoni mencapai pantai bahagia.
Selain daripada itu, tata susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan sesama mahluk dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jiwatmanya dengan paramātma (Hyang Widhi Wasa).
Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang (jiwatma) dapat mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi Wasa, karena hanya kesatuan antara jiwatma dengan Hyang Widhi Wasa itu sajalah yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang, tentram dan damai karena murninya roh (jiwatma) yang disebut ananda. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita VI.20 :
“yatro paramate chittam, niruddham yoga sevayā yatra chai vātmanāmanam, pasyam ātmani tusyanti”





Maksudnya :

Bilamana hati (seseorang) merasa berbahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (Paramātma) dengan pengamatan rohaninya (Jiwātma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani (ananda).

Bahkan pada sloka 22 bab yang sama dinyatakan bahwasannya : “Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka betapapun hebatnya.

II. DASAR TATA SUSILA
Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal abadi, ibarat landasan/fondasi sebuah bangunan dimana suatu bangunan harus didirikan. Jika landasan itu tidak kuat, maka bangunan tersebut mudah benar roboh/ambruk. Demikian juga halnya dengan tata susila, bila tidak dibangun atas dasar agama sebagai landasan yang kokoh/kuat, maka tata susila itu tidak mendalam dan tidak meresap dalam diri pribadi tiap orang.
Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama, atau yang berpedoman atas ajaran kerohanian sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Upanisad (Vedanta). Dalam Upanisad terdapat suatu Sutra yang berbunyi : “Brahma atma aikyam” yang artinya Brahma (Tuhan) dan atma (jiwatma) adalah tunggal. Oleh karena jiwatma semua mahluk tunggal, tunggal dengan Brahmā, maka jiwatma suatu mahluk tunggal juga dengan semua jiwatma, dan jiwatma kitapun tunggal dan sama dengan jiwatma (roh) semua mahluk.
Keinsyafan dan kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita, maka kita akan merasakan dengan renungan (kontemplasi) kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya satu dan sama dengan mahluk lainnya.
Hyang Widhi Wasa berada dimana-mana dan tunggal, menjadi sumber hidup segala ciptaan-Nya yang berpisah-pisah. Sebagai halnya matahari yang menyinari segalanya, meskipun ribuan rumah yang dibatasi tembok-tembok yang tinggi, akan tetapi sinar matahari akan tetap menyinari semuanya. Begitulah mahluk dengan badan yang berbeda-beda, dihidupkan/dijiwai oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
Jika tata susila mendasarkan ajarannya hanya kepada ke Esaan Hyang Widhi Wasa saja, yang menyadari dasar semua makhluk, maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain, berarti juga berbuat baik atau buruk pada dirinya sendiri.
Para Rsi/orang-orang suci telah mengetahui kebenaran yang utama ini, yaitu bahwa Paramātma ditiap-tiap orang adalah tunggal, mereka lalu membangunkan tata susila di atas kebenaran ini. Oleh karena itu kekuasaan kebenaran tata susila dalam Weda yang lainnyapun adalah mutlak, karena berdasarkan kebenaran abadi. Sebagaimana tertuang dalam Bhagawadgita X, 20 sebagai berikut :
“Ahamātma gudakesa, sarvabhutasayasthitah aham adischa, madhyam cha, bhutanam anta eva cha”.

Maksudnya :
Wahai Arjuna (Gudakesa) Aku adalah atma, yang bersemayam di dalam hati semua makhluk dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir makhluk itu sendiri.
Berikutnya bab yang sama sloka 27 disebutkan bahwa orang yang melihat Tuhan (Brahma) yang kekal abadi, bersemayam merata di dalam semua makhluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Jadi tata susila agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil. Jika bertentangan dengan hal ini akan timbul ketidakselarasan di dalam makhluk itu sendiri.

III. BENAR DAN SALAH
Kapankah perbuatan itu dianggap benar dan bilamanakah perbuatan itu dianggap salah? Hyang Widhi Wasa menuntun dunia ini melalui jalan yang benar. Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi Wasa sendiri adalah benar, dan segala sesuatu yang bertentangan jalan ini adalah salah.
Kebahagiaan dan penderitaan makhluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwātma kita sendiri tunggal dengan jiwātma semua makhluk. Menyadari akan tunggalnya jiwātma yang ada dalam diri kita sendiri dengan jiwātma semua makhluk, maka kita berhasrat melakukan amal kebaikan terhadap semuanya. Kesadaran akan tunggalnya jiwātma sendiri dengan Brahma. Amal kebaikan dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan semua makhluk disebut dharma; Dan kesatuan atau penunggalan jiwātma dengan Brahma disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwātma dengan Brahma disebut Niwrti marga. Orang yang mendapat moksa disebut mukti, dan roh yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahma. Kemurniaan jiwātma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi (sukha tan pa wali dukha) yang disebut ananda.
Dalam Chandoya Upanisad terdapat Sutra (ungkapan pendek penuh makna) “Tat twam asi” yang artinya : Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua mahluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakerti) semua mahluk. Aku ini adalah mahluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwātmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwātma semua mahluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua mahluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau ; aku adalah Brahma “Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10).
Menurut ajaran Upanisad dan Tattwa-tattwa bahwasannya ada satu atma yang memberi hidup kepada semua mahluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut Paramātma. Adapun atma yang terdapat didalam diri tiap-tiap mahluk adalah bagian dari paramātma itu sendiri yang disebut juga jiwātma.
Dalam Bhagavadgita XIII.33 dinyatakan :
“Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramātma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi dan menjiwai (memberi hidup) seisi alam (semua mahluk) wahai Arjuna.
Tujuan terakhir hidup kita adalah menuju moksa, yaitu penyatuan (penunggalan) jiwātma dan paramātma.
Jalan yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar Hyang Widhi telah memberi tuntunan berupa wahyu yang diterima oleh para Rsi yang dituangkan dalam Veda yang baik Sruti maupun Smrti.
Hukum-hukum yang sederhana yang diamanatkan didalam pustaka suci oleh para Rsi pada hakekatnya adalah berpikir yang baik dan benar (manacika) diikuti dengan ucapan/kata-kata yang baik dan benar (wacika) dan patut diwujudnyatakan pada sikap/prilaku yang baik dan benar (kayika). Ketiga hal tersebut yaitu : manacika, wacika dan kayika yang disebut Tri Kaya Parisudha.

IV. SUBHA DAN ASUBHA KARMA
Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadigita bahwa kecendrungan budhi manusia atas 2 (dua) bagian yaitu :
1. Daivi Sampat yaitu mutu kedewataan dan
2. Asuri Sampat yaitu mutu keraksasaan.
Dari kedua kecendrungan ini menimbulkan dua prilaku atau perbuatan yaitu perbuatan baik (subha karma) dan perbuatan buruk atau tidak baik (asubha karma).
Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum Rvabhneda yakni subha dan asubha karma (baik dan buruk) namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada subha karma (perbuatan baik).
Sebab salah satu hakekat kehidupan menjelma sebagai manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah untuk memilah dan memilih yang baik dan benar. Sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 2 sebagai berikut :
“Manusah sarvabhutesu, vartate vai subhasubhe asubhesu samavistam, subhesveva vakarayet”
Maksudnya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Walaupun secara tegas sulit menentukan mana perbuatan baik dan buruk, akan tetapi menurut ajaran Hindu secara umum yang disebut perbuatan baik (subhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Hyang Widhi Wasa). Sedangkan perbuatan yang buruk (asubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal tersebut di atas tadi.
Untuk lebih jelasnya, mana bentuk-bentuk perbuatan baik (subhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (asubhakarma) menurut ajaran Hindu akan dipaparkan sebagai berikut :

A. Śubhakarma (Perbuatan Baik)
Śubhakarma adalah sumber dari kesusilaan yaitu segala tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan ketentuan dharma (Oka, 35). Ada beberapa bentuk Śubhakarma diantaranya :

1. Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha artinya tiga bentuk perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang baik dan benar (Kayika). Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu tiga berdasarkan pikiran yang terdiri dari :
- Tidak menginginkan sesuatu yang tidak kekal.
- Tidak berpikiran buruk terhadap mahluk lain.
- Tidak mengingkari adanya hukum karma
Berikutnya empat hal yang berdasarkan ucapan/kata-kata rinciannya adalah :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada mahluk lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji atau ucapan
Sedangkan tiga macam yang berdasarkan perbuatan adalah :
- Tidak menyiksa maupun membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda
- Tidak berzina



2. Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi yang luhur yang diaplikasikan dalam sikap dan perilaku yang terdiri dari :
- Karuna yaitu rasa belas kasihan/kasih sayang terhadap semua mahluk yang mendambakan terhapusnya penderitaan.
- Mudita adalah sifat dan sikap menyenangkan orang lain.
- Upeksa artinya sifat dan sikap menghargai orang lain sehingga tidak ada rasa melecehkan dan menistakan orang lain.
- Maitri adalah sifat dan sikap lemah lembut tidak berlaku kasar untuk kebahagiaan semua mahluk.

3. Panca Yama Brata
Panca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam kaitannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin, terdiri dari :
- Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh mahluk lain dengan sewenang-wenang.
- Brahmacari artinya pengendalian nafsu birahi.
- Satya artinya setia, jujur, benar, baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatan.
- Awyaha(ra)/rika artinya mengupayakan ketulusan dan kedamaian.
- Asteya/Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda untuk orang lain.

4. Panca Nyama Brata
Panca Nyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, yang terdiri dari :
- Akroda artinya tidak cepat atau suka marah.
- Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat guru.
- Sauca artinya kesucian lahir bathin.
- Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum.
- Apramada artinya ketakwaan melakukan kewajiban mengamalkan agama.

5. Asta Sidhhi
Asta Siddhi adalah delapan prihal tuntunan rohani untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir bathin, yang terdiri dari :
- Dana artinya senang berdana punia.
- Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (Ketuhanan).
- Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar.
- Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam samadhi.
- Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik.
- Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan.
- Adi Baktika artinya dapat mengatasi segala kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti.
- Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.

6. Dasa Dharma
Dasa Dharma adalah sepuluh kebenaran/kewajiban suci, yang terdiri dari :
- Sauca artinya murni rohani dan jasmani
- Indryaningraha artinya mengekang indria/nafsu.
- Hrih artinya tahu dengan rasa malu.
- Widya artinya bersifat keihunan dan bijaksana.
- Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran.
- Akrodha artinya sabar (mengekang kemarahan).
- Drti artinya murni dalam bathin.
- Ksama artinya suka mengampuni.
- Dama artinya kuat mengendalikan pikiran.
- Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.

B. Aśubhakarma (Perbuatan Buruk)
Aśubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dan bertentangan dengan Śubhakarma (perbuatan baik), merupakan sumber dari kedursilaan yang mengarah pada kejahatan. Adapun bentuk-bentuk Aśubhakarma yang harus dihindari dalam kehidupan ini antara lain :

1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk perilaku manusia yang sangat kotor yang terdiri dari :
- Moha artinya pikiran, perasaan yang curang, kotor dan angkuh.
- Mada artinya ucapan yang kotor dan dusta.
- Kasmala artinya perbuatan yang hina dan kotor.

2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan karma yang dilakukan, terdiri dari :
• Pataka
- Brunaha artinya menggugurkan bayu dalam kandungan.
- Purusaghna artinya menyakiti orang.
- Kanyacora artinya mencuri perempuan pingitan.
- Agrayajaka artinya bersuami istri melewati kakak.
- Ajnatasamwratsarika artinya bercocok tanam tanpa masanya.
• Upa Pataka terdiri dari :
- Gowadha artinya membunuh sapi.
- Juwatiwradha artinya membunuh gadis.
- Bālawadha artinya membunuh anak.
- Agrhadaha artinya membakar rumah/ merampok.
• Maha Pataka, terdiri dari :
- Brahmanawadha artinya membunuh orang suci/ pendeta.
- Surapana artinya suka meminum alkohol/ suka mabuk.
- Swarnasteya artinya suka mencuri emas.
- Kanyawrighna artinya memperkosa gadis.
- Guruweradha artinya membunuh guru.
• Ali Pataka, terdiri dari :
- Swraputribhayana artinya memperkosa saudara perempuan.
- Matrabhayana artinya memperkosa ibu.
- Linggagrahana artinya merusak tempat suci.

3. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia, terdiri dari :
- Kāma : sifat penuh nafsu indrya
- Lobha : sifat loba dan serakah
- Krodha : sifat marah, bengis dan kejam
- Mada : sifat suka mabuk-mabukan
- Moha : sifat bingung dan angkuh
- Matsarya : sifat dengki dan irihati

4. Sad Atatayi (enam pembunuhan kejam) terdiri dari :
- Agnida artinya membakar hak milik orang lain.
- Wisada artinya meracun orang lain
- Atharwa artinya melakukan ilmu hitam
- Sastraghna artinya suka mengamuk/merampok
- Dratikrama artinya suka memperkosa
- Rajapisuna artinya suka memfitnah

5. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh kegelapan pikiran yang terdiri dari :
- Surupa artinya mabuk akibat ketampanan
- Dhana artinya mabuk akibat kekayaan
- Guna artinya mabuk akibat kepandaian
- Kulina artinya mabuk akibat keturunan bangsawan
- Yowana artinya mabuk akibat keremajaan
- Sura artinya mabuk akibat minuman keras
- Kasuran artinya mabuk akibat kemenangan

V. PENUTUP
Menyimak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata susila adalah peraturan tingkah laku yang baik dan mulia demi kesejahteraan dan kerahayuan serta hubungan yang harmoni sesamanya.
Intinya terletak pada pengendalian pikiran, perkataan dan perbuatan untuk mewujudkan Trikaya Parisudha yaitu berpikir, berkata dan berprilaku yang baik dan benar.
Demikianlah uraian singkat tentang Tata Susila, semoga bermanfaat bagi kita semua.


referensi:

Kajeng I Nyoman, dkk., Sarasamuscaya, 1991,
Yayasan Dharma Sarathi ; Jakarta.

Mantra, I.B. Prof. Dr., Tata Susila Hindu Dharma,
PHDIP Bag. Penyalur – Penerbit, 1982.

Oka Netra, A.A. Gde, Drs., Tuntunan Dasar Agama Hindu,
Ditjen Bimas Hindu dan Budha, 2001.

Pendit, S. Nyoman., Bhagavadgita,
PT. Daya Prana Press, Jakarta, 1988.

Sura, I Gede, Drs., Pengendalian Diri dan Etika Dalam Agama Hindu, 1985.

POKOK-POKOK KEIMANAN (SRADHA) DALAM AGAMA HINDU

Sesungguhnya setiap agama di muka bumi ini bertitik tolak dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadapNya. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan kita semakin mantap, bahwa semuanya itu pasti ada sebab-musababnya. Sebab yang terakhir yang menentukan segala-galanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada sesuatu, namun percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak hal dan kegiatan yang kita laksanakan dalam kehidupan ini hanya berdasarkan kepercayaan saja. Setiap hari kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Demikian pula adanya bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di angkasa. Belum lagi adanya berbagai mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan aneka isi dunia. Adanya pergantian siang dan malam, adanya kelahiran, usia tua dan kematian, semuanya ini mengantarkan kita harus percaya dan yakin terhadap Tuhan. Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan maka dengan agama pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada suatu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) itu sendiri. Kepada-Nyalah kita menyembah dan memasrahkan diri, karena bagi umat beragama tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali dan berserah diri.
Keimanan (Sradha) kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan agama Hindu. Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian disebut Panca Sraddha terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala, Punarbhawa dan Moksa.

A. Brahman (Percaya adanya Tuhan/Hyang Widhi)
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin/iman terhadap Hyang Widhi/Tuhan itu sendiri. Hal ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Adil dan Bijaksana, Maha Esa dan Maha segala-galanya.
Tuhan Yang Maha Esa yang juga disebut Hyang Widhi (Brahman) Ia yang kuasa atas segalanya ini. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara, dan pelebur alam semesta dengan segala isinya. Dalam Bhagawadgita X.20 :
Aham atma gudakesa, sarva bhūtāsya sthutah
Aham adis cha, madyam eka, bhutanam anta eva cha

Aku adalah jiwa yang bersemayam dalam hati semua insani. Wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan pertengahan dan akhir dari semua mahluk dan yang ada ini.

Hyang Widhi bersifat maha ada, juga berada di setiap mahluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanent dan transenden). Beliau merasap di segala tempat yang ada (wyapi-wyapaka) serta tidak berubah dan kekal abadi (nirvikara) bersifat gaib (suksme) dan abstrak tetapi ada.
Dalam Bhuwana Kosa dinyatakan sebagai berikut :
“Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tan keneng angên-angên, kadyangganing akasa tan kagrahita dening manah mwang indrya”

Tuhan (Siva) Dia ada dimana-mana, Dia gaib sukar dibayangkan, bagaikan akasa (ether) Dia tidak dapat dibayangkan oleh akal maupun panca indra.
Walaupun amat gaib tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya, tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada di sana. Tuhan memenuhi jagatraya ini.

Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak terjangkau oleh pikiran dan indrya, yang gaib disebut dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu Tunggal ada-Nya. Chandogya Upanisad IV.2.1 menyebutkan “Ekam eva Advityam Brahman” Tuhan hanya satu tidak ada dua-Nya. “Eko narayanad na dvityo sti kascit (Weda Sanggraha). Hanya satu Tuhan tidak ada duanya.
Kekawin Sutasoma menyebutkan : “.............Bhineka tunggalika tan hana dharma mangrva”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada “Dharma”/sat/kebenaran yang dua.
Mantram Rg. Weda I.46 menyebutkan :
“Indram nutram varunam agnim akur atho dwiyah sa suparmo garutman, ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh”.

Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan Yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsi-Nya. Ia disebut Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siwa sebagai Pamralina. Banyak lagi panggilan-Nya yang lain. Orang-orang menyembahNya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang bersaksi, berserah diri, mohon perlindungan dan petunjukNya agar menemukan jalan yang terang dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
B. Atman (Percaya adanya Jiwa)
Dalam berbagai Upanisad Atman dikatakan sebagai percikan dari Hyang Widhi/Tuhan (Paramātma). Atman dalam badan manusia disebut Jiwatma, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan ibarat kusir dengan kereta. Kusir adalah atma yang mengemudikan, kereta adalah badan.
Angustha matrah purusantarātman
Sada jananam hrdoya samuvishtthah
Hradam nisi manasbhi kerto yaetad
Viduramrstate bhavanti (Upanisad)

Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka mengetahuinya menjadi abadi.

Satu “Sat” yang bersembunyi dalam setiap mahluk yang menghidupi semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari semua perbuatan pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal. Demikian atman merupakan percikan kecil dari Paramātman, bagaikan titik embun berasal dari uapan air laut. Demikian juga percikan pancaran sinar matahari menerangi pelosok alam semesta ini.
Oleh karena atman adalah bagian dari Brahman maka atman pada hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan sumbernya, yakni Brahman itu sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal abadi, tidak mengalami kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan dukha.
Dalam Bhagawadgita II,23-25 disebutkan bahwa sifat-sifat atman sebagai berikut :
Senjata tidak dapat melukai Dia, dan api tak dapat membakarnya, angin tak dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa membasahiNya.
Dia adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap selama-lamanya. Dia dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat dipikirkan, tidak berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya jangan berduka.
Dia mengatasi segala elemen materi, kekal abadi dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu atman tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dari perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena semua bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya.
Perpaduan jiwatman dengan badan jasmani, menyebabkan Dia terpengaruh oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan avidya (kegelapan). Jadi manusia lahir dalam keadaan avidya, yang menyebabkan ketidaksempurnaannya. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun atman itu tidak akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan atman tetap kekal abadi.
“Ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya dengan pakaian yang baru demikian jiwa meninggalkan badan tua dan memasuki jasmani yang baru.
Apabila badan jasmani tua dan hancur, maka alam pikiran sebagai pembalut jiwa merupakan kendaraan baginya untuk berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain yang disebut reinkarnasi atau punarbhawa sesuai dengan karma phalanya. Karena itu atman tidak akan selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu Tuhan. Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan yang berbuat buruk akan jatuh ke neraka. Di neraka jiwatman mendapat siksaan dan setelah itu menjelma terus berkelanjutan sampai jiwatman sadar akan jati dirinya sebagai atman terlepas dari pengaruh awidya dan mencapai moksa (kebahagiaan dan bersatu kembali kepada-Nya).



C. Karma Phala (Percaya akan Hukum Sebab Akibat)
Segala gerak (aktivitas) yang dilakukan disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah disadari atau diluar kesadaran kesemua itu disebut “karma” berasal dari √kr (bahasa Sanskerta) artinya bergerak atau berbuat. Menurut hukum sebab-akibat, maka setiap sebab pasti ada akibat. Demikian pula sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah atau hasil.
Dalam Slokantara, 68 dinyatakan : “......... Karma Phala ngaranika phalaning gawe hala hayu” maksudnya Karmaphala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan (karma). Hukum karma itu sesungguhnya amat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk dan menentukan seseorang hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Setiap orang berbuat baik (subha karma) pasti akan membuahkan hasil yang baik demikian pula sebaliknya.
Phala (hasil) dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan (dinikmati). Tangan yang menyentuh es akan seketika merasakan dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas (ada bekas yang nyata dalam angan dan ada yang abstrak). Oleh karena itu hasil-hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akhirat kelak atau adakalanya dinikmati pada kehidupan/penjelmaan yang akan datang.
Dengan demikian Karma Phala dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sancita Karmaphala ialah hasil perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang dinikmati pada masa kehidupan ini.
2. Prarabda Karmaphala ialah hasil perbuatan pada masa kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.
3. Kryamana Karmaphala ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat kehidupan ini, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti segala hasil dari perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan (karma).
Dalam Wrhaspati Tattwa.3 dinyatakan : “Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini, orang akan mengecap akibatnya di alam lain, pada kelahiran nanti, apakah akibat itu baik atau buruk. Hal ini ibarat periuk yang diisi kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci, namun tetap saja masih ada bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. (Inilah wasana namanya) seperti itu juga hal dengan karma wasana, ia ada pada atma, ia melekat padaNya dan mewarnai jiwatman itu sendiri.
Pengaruh hukum karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai dari watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak dan prilaku manusia di dunia ini. Ganjaran kepada roh yang selalu melakukan asubha karma (berbuat buruk/ dosa) akan bertambah merosot derajatnya ; seperti dinyatakan dalam (Slokantara 40.13-14).
“Dewa Neraka (menjelma) menjadi manusia, manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring, taring jahat menjadi bisa (upas) yang dapat membahayakan kehidupan ini.

D. Punarbhawa/Samsara (Percaya adanya Penitisan/Penjelmaan Kembali)
Punarbhawa artinya kelahiran berulang-ulang yang disebut reinkarnasi. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat sukha dan dukha. Samsara (punarbhawa) ini terjadi akibat jiwatman masih dipengaruhi/diliputi oleh kenikmatan dan kematian akan diikuti oleh kelahiran.
Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga. Setelah selesai menikmati phala dari perbuatan baik dan buruk menjelmalah ia mengikuti sifat karma phala itu. Adapun perbuatan baik atau buruk di akhirat tidak berakibat sesuatu apapun. Oleh karena itu yang sangat menentukan adalah perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga (Sarasamuscaya.7).
Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan asubha karma akan menimbulkan dosa dan atma akan mengalami neraka serta dalam punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara atau menderita bahkan menjadi mahluk yang hina. Sebaliknya, setiap karma yang baik (subha karma) akan mengakibatkan atma menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan lebih sempurna/lebih tinggi (Sarasamuscaya.48).
Kesimpulannya dengan keyakinan akan punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimanapun kelahirannya tergantung dari karma wasananya.
Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
“Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik. Demikianlah keuntungan dapat menjelma menjadi manusia (Sarasamuscaya.4).
kesimpulannya pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga, segala sesuatu yang menyebabkannya agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Itulah sebabnya, maka seseorang hendaknya menggunakan kesempatan yang amat berguna ini untuk membebaskan diri dari kesenggsaraan dan menuju pada kebahagiaan yang abadi (moksa/kelepasan). Jadi setiap kelahiran sebagai manusia patutlah digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas hidup ke jenjang yang lebih mulia dan luhur.

E. Moksa (Percaya adanya Kelepasan/Merdeka)
Sebagaimana makna sutra berupa sesanti tujuan agama Hindu “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma” maka moksa merupakan tujuan yang terakhir/tertinggi. Moksa adalah kebebasan dari keterikatan benda-benda duniawi dan terlepasnya atman dari pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumberNya.
Dalam keadaan ini atman mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi “Sat cit ananda”.
Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Nya. Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air sungai yang ada di laut itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada lagi perbedaan antara air sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya atman yang mencapai moksa. Ia akan kembali menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman.
Dalam Bhagawadgita VII.19 disebutkan : “Pada akhir kelahiran manusia, orang yang berbudi (orang yang tidak lagi terikat oleh keduniawian) datang pada Ku karena (mereka) tahu Tuhan adalah segalanya, sungguh sukar dijumpai jiwa agung seperti itu. Berikutnya VIII.15 lebih ditegaskan lagi bahwa “Setelah sampai kepada Ku, mereka yang berjiwa agung ini tidak lagi menjelma ke dunia yang penuh dukha dan tak kekal ini dan mereka tiba pada kesempurnaan tertinggi.
Selain setelah di dunia akhirat, moksa juga dapat dicapai semasa hidup di dunia ini, (jiwan mukti) namun terbatas kepada orang-orang yang sudah bebas dari keterikatan duniawi. Sebagaimana halnya para Maharsi yang bebas dari keinginan menikmati mayanya dunia ini dan bekerja tanpa pamrih untuk kesejahteraan dan kedamaian serta kebahagiaan dunia.

PENUTUP
Menyimak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan (Hyang Widhi) dan segala sesuatu yang terkait dengan hal itu. Kepercayaan dan keyakinan itu sangat penting dalam kehidupan ini. Kepercayaan/keyakinan sebagai keimanan yang tergolong Tattwa dalam agama Hindu ada lima hal disebut “Panca Sraddha” sebagai pokok-pokok keimanan agama Hindu yang terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala, Samsara/Punarbhawa dan Moksa.
Demikian paper singkat ini kami rangkum dan persembahkan semoga bermanfaat.

referensi :
1. Kajeng, I Nyoman, dkk : Sarasamuscaya, 1988.
2. Mantra, I.B.Prof. Dr., : Tata Susila Hindu Dharma, 1989.
3. Oka, I.B. Drs : Panca Sradhha, 1992.
4. Pudja, G.MA., SH : Pengantar Agama Hindu, 1989.
5. Pendit, S. Nyoman : Bhagawadgita, 1988.
6. Oka Netra, A.A. Gde Drs : Tuntunan Dasar Agama Hindu, 2001.
7. Wijaya, I Gede : Pengantar Agama Hindu, 1991.
8. Sura, I Gede : Ajaran Ketuhanan Dalam Agama Hindu, 1992.
9. Pudja, G.MA., SH : Theologi Hindu.

PERAN AGAMA DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

“Mānusah sarwabhutse varttate vai subhāsubhe Asubhēsu samavistam śubhesvevāvakārayet”

Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Sarasamuccaya.2).

I. PENDAHULUAN
Indonesia pada mulanya hanya sebagai tempat transit peredaran narkoba, kemudian berubah telah menjadi tempat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bahkan telah menjadi sumber pembuatannya sebagaimana terungkapnya adanya pabrik pembuatan extasy. Perkembangan baik kuantitatif maupun kualitatif penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin meningkat sampai pada tingkat membahayakan. Bahaya narkoba (Napza) mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan serta pembangunan Nasional.
Hal itu diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap bahaya Narkoba, memudahkan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Disamping itu disinyalir kurang gencar dan tepadunya semua pihak untuk mengantisipasi penyalahgunaan Narkoba ini; Termasuk ringannya sanksi hukum bagi para pengedar dan bandar Narkoba (Napza) itu sendiri, mengakibatkan orang tidak jera berbisnis barang terlarang ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia telah menjadi masalah nasional dan mengglobal (mendunia). Untuk itu perlu ditangani secara terarah, terpadu dan berkesinambungan. Bagaimana upaya menanggulangi bahaya narkoba ini, dan bagaimana peran agama dalam resosiolisasi korban dari penyalahgunaan narkoba (Napza) itu sendiri.
Penulis akan mencoba mengungkap dan mengkaji peran agama dalam resosialisasi korban penyalahgunaan Narkoba (Napza) khususnya dari sudut pandang agama Hindu.

II. PENYALAHGUNAAN NARKOBA (NAPZA)
A. Pengertian
Sebelum membicarakan masalah penyalahgunaan Narkoba (Napza) dimaksud, kiranya perlu sepintas dipahami apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan Narkoba (Napza) itu sendiri?
Sesuai dengan esensi dari UU No 22/1997 : Narkotika dan UU No. 5/1997 : Psikotrapika dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud Narkoba adalah singkatan dari : Narkotika, obat berbahaya dan zat adiktif lainnya.
Napza adalah singkatan dari : Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif lain. Jadi Narkoba = Napza.
Narkotika : zat atau obat dari tanaman atau bukan, sintetis atau semi sintesis, dapat menyebabkan penurunan/penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedang psikotropika adalah zat atau obat alamiah/sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif susunan saraf menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
Zat adiktif lain adalah bahan lain bukan narkotika ataupun psikotripika berkhasiat adiktif, penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan/ketagihan psikis dan pisik.
Terdiri atas : minuman beralkohol (golongan I – III) tembakau, obat berbahaya.
Golongan I (kadar ethanol 1 - 5%) : bir, greensand.
Golongan II (kadar ethanol 5 - 20%) : anggur
Golongan III (kadar ethanol 20-55%) : wiski
Obat berbahaya, adalah obat yang memiliki kemampuan untuk mengakibatkan kondisi ketergantungan pada organisme hidup, baik mental maupun pisik atau keduanya. Contoh jenis obat tidur (sedativa) seperti : magadon, obat perangsang (stimulansia) salvent seperti bensin, lem, dengan menghirup melalui hidung dan mulut.
B. Rwa Bhineda
Dalam ajaran Hindu semua benda, orang atau bentuk materi lainnya sebagai ciptaan dan anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini selalu berdampak dua dimensi yakni “Rwa Bhineda” dua hal yang bertentangan antara baik dan buruk (Dewaya >< Bhutaya). Contoh : makanan dan minuman apabila dimakan atau diminum sesuai dengan keperluan atau takaran (dosisnya) akan bermanfaat bagi kehidupan ini. Akan tetapi bila dipergunakan melewati batas atau dosis/ukuran yang telah ditentukan akan mengakibatkan penyakit yang membahayakan, sehingga makanan pun akan berakibat penyakit apabila salah cara dan ukuran memakannya (a mêrta matêmahan wisya).
Demikian juga halnya dengan Narkoba (Napza) sebenarnya hal itu sangat berguna dan diperlukan untuk kepentingan dunia kedokteran sebagai pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun disisi lain Narkoba (Napza) sangat berbahaya apabila disalahgunakan. Sehingga pengunaannya perlu pembatasan, pengendalian dan pengawasan yang sangat ketat yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 22/1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5/1997 tentang Psikotropika.


C. Bahaya Penggunaan Narkoba
Adapun bahaya penyalahgunaan Narkoba (Napza) antara lain :
1. Terhadap kondisi pisik dapat mengakibatkan impotensi, gangguan menstruasi, menurunkan daya tahan tubuh, anemia, turunnya berat badan, aritunia jantung, lambung/lever, gangguan metabolisme, cacat janin, gangguan seksual, pendarahan otak, terjangkit HIV/AIDS, hepatitis, dan lain-lain.
2. Terhadap mental emosional dan prilaku (psikis), dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri, gangguan prilaku yang tidak wajar, gangguan persepsi/daya pikir/kreasi dan emosi yang dapat merubah prilaku menjadi menyimpang, ada hambatan atau ketidakmampuan untuk hidup secara wajar.
3. Terhadap kehidupan sosial, berakibat dapat mengganggu fungsinya sebagai warga masyarakat, tempat bekerja atau sekolah. Prestasi menurun lalu dipecat/dikeluarkan dari sekolah yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat, hubungan dengan anggota keluarga maupun kawan-kawannya. Dapat pula menimbulkan tindak kriminal, keretakan rumah tangga termasuk penceraian dan lain-lain.

D. Ciri-ciri Penyalahgunaan Narkoba
Selanjutnya ciri-ciri (gambaran umum) penyalahgunaan Narkoba (Napza) adalah sebagai berikut :
1. Tingkah laku ganjil (kontak mata “menghilang” secara tiba-tiba).
2. Egosentris (tidak peduli pada orang lain).
3. Ketidakmampuan memusatkan pikiran (konsentrasi), prestasi belajar menurun.
4. Sering terlambat datang ke sekolah dan pulang lebih cepat dari yang lain bahkan sering tidak masuk karena “sakit”
5. Tugas-tugas yang mesti dikumpulkan/disetor selalu telambat, dengan kualitas yang rendah dari kemampuan sesungguhnya.
6. Sering meninggalkan acara perkuliahan/tugas kantor untuk pergi ke kamar mandi atau ke kantin.
7. Barang-barang pribadi “hilang” dengan penjelasan yang “kurang” masuk akal.
8. Mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya selalu dijalankan.

III. UPAYA PENANGGULANGAN
Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba (Napza) dapat dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya :
1. Pre-emtif yaitu pencegahan secara dini melalui kegiatan-kegiatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dengan sasaran mengetahui faktor-faktor penyebab, pendorong dan peluang dari terjadinya pengguna untuk menciptakan suatu kesadaran, kewaspadaan serta daya tangkal guna terbinanya kondisi dan norma hidup bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam mengantisipasi segala perbuatan yang dapat merusak kondisi keluarga yang telah terbina dengan serasi/harmonis.
Lingkungan sekolah/kampus juga merupakan areal yang sangat urgen pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian siswa/ mahasiswa baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengaruh negatifnya sesama pelajar/mahasiswa.
2. Preventif, pada hakekatnya : penanaman disiplin melalui pribadi atau kelompok, pengendalian situasi budaya, ekonomi, politik yang cenderung dapat merangsang terjadinya penyalahgunaan Narkoba (Napza). Penggunaan lingkungan untuk meniadakan/ mengurangi kesempatan terjadinya penyalahgunaan Narkoba (Napza) dengan mengadakan pembinaan, bimbingan dan partisipasi masyarakat secara aktif bersama dengan lembaga/ instansi terkait secara langsung atau melalui media, operasi kepolisian, pengawasan tempat-tempat hiburan seperti : diskotik, pub, cafe, karaoke, dan lain-lain.
3. Represif yaitu tindakan dan penegakan hukum melalui proses penyidikan berpedoman pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4. Rehabilitasi yaitu usaha untuk menyehatkan kembali bagi mereka yang terkena penyalahgunaan ataupun yang kencaduan.
Dalam hal ini dapat ditempuh berupa rehabilitasi medik oleh lembaga kesehatan dengan berbagai cara memulihkan kesehatan pisiknya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah rehabilitasi sosial oleh lembaga-lembaga sosial yang psikoeduktif serta mental spiritual.
Adapun tujuan rehabilitasi ini adalah :
- Agar pasien menjadi sehat kembali, dapat melaksanakan tugas dan kewajiban betapa mestinya.
- Dapat mengendalikan emosi, motivasi untuk tidak mengulang penyalahgunaan Narkoba (Napza).
- Menciptakan sikap prilaku positif, mengembalikan kepercayaan diri.
- Mendisiplinkan waktu dan prilaku sehari-hari secara efektif dan produktif.
- Mengembalikan konsentrasi untuk belajar dan bekerja
- Agar dapat diterima kembali dengan baik oleh keluarga dan lingkungannya.
Rupanya tujuan yang terakhir inilah menjadi topik atau inti pokok materi pembahasan kita.
IV. PERAN AGAMA DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
Para sujana (orang bijaksana) mengatakan bahwa agama itu ibaratnya “rambu-rambu lalu lintas” yakni memberi petunjuk jalan yang benar (dharma) dan melarang orang (umatnya) untuk berbuat salah, kebatilan (adharma). Tentang hal itu banyak tersurat dalam pustaka dan susastra Hindu diantaranya Sarasamuçcaya 14 menyebutkan :
“Ikang dharma ngaranya, hênuning marga mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an hênuning banyoga nêntasing tasik”.

Maksudnya :
Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi lautan.

Pada sloka berikutnya dipertegas lagi bahwa seperti prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, adalah memusnahkan segala macam dosa. Keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma merupakan perlindungan orang berilmu, tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka (jagat tiga itu) SS. 16 dan 18.
Dengan mencermati makna sloka tersebut di atas tentu setiap orang diamanatkan untuk berbuat, berpikir maupun berucap yang baik dan benar. Lantas bagaimana bagi mereka yang telah terlanjur berbuat penyimpangan atau penyalahgunaan? Dalam hal ini agama selalu memberikan solusi atau jalan keluarnya yakni memotivasi orang untuk senantiasa berbuat baik (subha karma) sebagai pelebur perbuatan yang tidak baik (adharma) tersebut. Hanya dengan perbuatan baiklah orang akan memperbaiki segala dosa-dosanya, bukan jalan pintas dan sesat.
Bahkan ditegaskan bahwasannya hakikat penjelmaan ini adalah untuk berbuat baik guna melebur alias memperbaiki prilaku yang kurang/tidak baik, sebagaimana ucap Sarasamuçcaya sloka 2 sebagai berikut :
“Mānusah sarwa bhūtesu,
varttate vai śubhāsubhe
aśubhesu samavistam
subhesvevāvakārayet”

Maksudnya :
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai (menjadi) manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah guna/hakikat (pahala) menjadi manusia.

Dari kutipan sloka di atas dapat diambil maknanya bahwa bagi mereka yang telah kena sebutlah sebagai korban Narkoba (Napza) harus tetap diterima dengan baik, serta merta dituntun untuk selalu memperbaiki diri untuk mendapatkan hari esok yang lebih baik.
Bila kita mengacu peran strategis agama dalam pembangunan di negara kita dikatakan sebagai “landasan moral, etika, serta sebagai motivator, inspirator dan dinamisator”.
Semua ungkapan tersebut di atas mengandung makna untuk senantiasa mendorong mengarahkan, menuntun umatnya untuk menuju kebaikan dan kebenaran.
Dengan demikian peran agama dalam resosialisasi korban Narkoba (Napza) ini sangat urgen.
Sebab agama disamping bertujuan mendapatkan kesejahteraan dunia (jagadhita) tentunya bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian jiwa/rohani (moksa).
Dalam kaitan pencegahan penyalahgunaan Napza ditinjau dari ajaran Hindu, dengan konsep Catur Marga (empat jalan) mencapai tujuan atau empat kiat menuju sukses dapat diterapkan dan diimplementasikan sebagai berikut :
1. Jñana marga : yakni dengan jalan ilmu pengetahuan, dalam hal ini seseorang harus belajar dari memahami dengan benar akibat buruk dari Narkoba (Napza) ini dan sejauh mana kita mengkonsumsi/ mempergunakannya sehingga tidak membahayakan. Selanjutnya kita harus memahami bagaimana caranya menerima mereka yang telah terkena/kecanduan alias korban Napza itu sendiri.
2. Karma marga : yang dimaksudkan disini adalah memberikan pekerjaan atau mengajak mereka menekuni suatu kegiatan kerja dengan penuh tanggung jawab yang tentunya diawali membekali mereka pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka menjadi seorang pekerja yang tekun untuk tidak terjerumus lagi pada kancah kecanduan Narkoba (Napza) tersebut.
3. Bhakti marga : uaitu dengan rasa tulus dan ikhlas menerima mereka di masyarakat sebagai warga masyarakat, jangan dikucilkan. Tuntunlah mereka dengan kecintaan yang tulus dan mendalam dengan landasan “asah-asih-asuh” sehingga tidak menyebabkan ketersinggungan dan rasa anti panti. Segala sesuatu yang dilandasi rasa bhakti pasti akan menimbulkan kecintaan dan simpati.
4. Yoga marga : dalam kaitan ini bagaimana kita bisa menuntun mereka untuk taat, patuh dan berdisiplin serta menjaga hubungan yang harmoni dengan mereka sebagai mantan (korban) Narkoba (Napza) itu sendiri. Hubungan yang harmoni akan dapat menjalin komunikasi yang baik yang bermuara berhasil (suksesnya) suatu usaha. Dalam hubungan ini peran Tri Guru utamanya Guru Rupaka yakni orang tua (pihak keluarga) harus memperhatikannya dengan kesungguhan hati. Demikian juga Guru Pengajian yaitu para Guru/Dosen di sekolah/kampus hendaknya dengan penuh rasa cinta yang mendalam. Yang tidak kalah pentingnya adalah Guru Wisesa yakni pemerintah baik dinas maupun adat/pakraman dapat menerima dan memperlakukan dengan baik terarah, terpadu dan berkesinambungan niscaya tidak ada masalah yang tidak terselesaikan dengan baik.

Peranan Catur Guru :
1. Guru Rupaka
Sebagai orang tua memegang peranan penting untuk memantau dan mengawasi putra-putrinya sehingga tidak terkena bahaya narkoba.
2. Guru Pengajian
Sebagai bapak/ibu guru yang mengajar di sekolah tidak kalah pentingnya dalam hal menuntun, mengawasi, dan memantau para siswanya ke arah hal yang positif sehingga tidak terkena penyalah gunaan Napza.
3. Guru Wisesa
Dalam hal ini sebagai aparat pemerintah baik dinas maupun adat atau pekraman sangat potensial dan punya wewenang untuk mengarahkan warga masyarakatnya termasuk para pelajar dan remaja untuk menuju anggota masyarakat yang bermanfaat dan berguna dalam pembangunan bangsa dan negara.
4. Guru Swadyaya
Dalam hal ini Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumber dan kembalinya mahluk ciptaan-Nya merupakan sumber mohon segala petunjuk dan tuntunan bagi umatnya untuk menuju kerahayuan.
Demikianlah peranan Catur Guru sangat penting dan strategis dalam hal pencegahan penyalahgunaan Napza.


V. PENUTUP
Dari paparan dan uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik benang merahnya bahwasannya :
- Masalah Narkoba (Napza) bila disalahgunakan akan membahayakan bagi kita semua, khususnya para generasi muda sebagai penerus bangsa.
- Masalah penyalahgunaan Narkoba (Napza) merupakan masalah nasional dan mengglobal yang patut diantisipasi serta ditangani secara serius oleh semua pihak baik secara medis maupun sosial.
- Korban penyalahgunaan Narkoba (Napza) harus tetap ditangani dan dibina serta diarahkan secara terpadu dan berkesinambungan.
- Peran agama dalam penanganan dan pembinaan korban Narkoba berikut resosialisasi sangat penting dan berkompeten, karena agama bertujuan untuk kesejahteraan dan kerahayuan baik lahir maupun bathin.
- Peran agama dalam pencegahan penyalahgunaan Napza sangat penting karena pada hakekatnya agama bertujuan untuk kerahayuan dan kesejahteraan baik lahir maupun bathin.