.....ehmmmmmmm.......

welcome to the area's ankga evil
enjoy reading what's there ....
before you get into my world, I suggest that you pray God presented to each of you.

Jumat, 25 Februari 2011

MAKNAI KEMBALI KONSEP TAPA

Maknai Kembali Konsep Tapa

Antisipasi Tindakan Kekerasan di Kalangan Umat Maknai Kembali Konsep "Tapa"
Menyikapi tindak kekerasan yang terjadi belakangan ini, tampaknya umat mesti memaknai kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Hindu. Hindu memiliki banyak konsep yang adiluhung, tetapi terkadang dalam tataran nilai muncul perilaku umat yang menyimpang. Artinya, dalam realitasnya terjadi perilaku yang kontradiktif dengan apa yang diajarkan agama. Apa saja nilai-nilai adilihung itu? Bagaimana seharusnya umat memaknai nilai tersebut agar tidak terjadi tindakan kekerasan?

=======================

Dalam sebuah dharma wacana, Ida Pedanda Gede Made Gunung sempat mengatakan bahwa umat mesti tetap melakukan tapa, yadnya dan kerthi. Dengan demikian diharapkan umat menemukan tujuan hidup, yakni kebahagiaan lahir dan batin. Tapa, kata Ida Pedanda, mengandung pengertian pengendalian pikiran atau hawa nafsu. Itu berarti umat mesti mampu menghilangkan kesombongan diri, iri hati dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri.

Bahkan, menurut Ida Pedanda, simbol pengendalian pikiran, dalam Hindu juga diwujudkan dalam bentuk destar (udeng). Destar, tak hanya memiliki fungsi aksesoris, tetapi juga simbol pengekangan hawa nafsu. Sedangkan kerthi mengandung pengertian bahwa umat mesti melakukan pengabdian, baik kepada bangsa dan negara, perusahaan tempat bekerja, maupun kepada keluarga. Jika hal itu bisa dilakukan secara seimbang, tentu kebahagiaan hidup akan bisa dirasakan. Kebahagiaan itulah merupakan sorga di dunia nyata. Kebahagiaan semacam itu diharapkan ditemukan juga di dunia akhirat (sorga).

Hal senada dikatakan dosen Unhi Wayan Budi Utama. Ia mengatakan bahwa Hindu memiliki banyak konsep atau nilai yang adiluhung. Tetapi dalam tataran implementasi, kerap ditemui perilaku menyimpang. Gesekan karena berbeda identitas, belakangan sering muncul ke permukaan. Demikian pula tindakan kekerasan lainnya, sering mewarnai kehidupan. Hal itu terjadi, menurut Budi Utama, karena kuatnya pengaruh kapitalisme atau imprealisme -- yang berpeluang munculnya sikap individualisme. Jika individualisme demikian kuat, nilai-nilai kebersamaan, konsep penyamabrayan, lambat-laun bisa luntur. Jika itu sudah luntur, gesekan-gesekan dalam bentuk apa pun dengan mudah pula terjadi. Misalnya, hanya berbeda aspirasi, antar-nyama bisa tak bertegur sapa.

Karena itu, menurut Budi Utama, umat perlu memaknai kembali ajaran agama atau menginterpretasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sastra agama. Demikian juga pentingnya kembali umat melakukan kontemplasi (perenungan). Dengan demikian diharapkan persoalan kemanusiaan bisa diatasi. Sebab, persoalan kemanusiaan tak sepenuhnya bisa diatasi hanya dengan pola pikir ilmiah. Persoalan kemanusiaan bisa diselesaikan dengan pendekatan spiritual.

Tak Bermakan Ritual

Dikatakan, banyaknya hari raya yang dimiliki umat Hindu, tak hanya bermakna ritual. Tetapi, hari-hari raya itu dimaknai sebagai kesempatan untuk melakukan koreksi diri atau evaluasi diri. Yang terpenting lagi dalam hari raya itu umat mampu mulatsarira, sehingga diharapkan dapat kembali pada kasujatian diri. Hari raya itu tak lain untuk mengingatkan dan menyucikan pikiran kita.

Dalam situasi carut-marut seperti ini, Budi Utama mengharapkan umat tidak mengartikulasikan Kali Yuga sebagai zaman penuh kekacauan, sehingga semua perbuatan menyimpang dianggap sebagai pakibeh gumi. Jangan sampai ciri-ciri zaman Kali ini dijadikan pembenar untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Mengapa demikian? Sebab, agama dengan tegas melarang umatnya melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sekarang berbagai problem patologi sosial sering muncul ke permukaan. Justru problem itu dianggap wajar karena pengaruh zaman Kali, katanya.

Konsep atau nilai luhur yang ada dalam ajaran agama mesti kembali dimaknai untuk mengantisipasi munculnya tindakan kekerasan. Kita tak berharap agama hanya dimaknai sebatas formal. Padahal, agama mengajarkan umatnya melakukan kesalehan sosial dan berdisiplin, ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Guru Besar Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Prof. Dr. IB Gunadha, M.Si. bahwa agama justru bertujuan untuk mengagungkan atau memuliakan segala tingkah laku manusia. Bukan membuat tafsir-tafsir atau mencari aksioma baru untuk membenarkan perbuatan yang nyata-nyata menyimpang. Tetapi itu yang cenderung terjadi selama ini, katanya.

Weda yang merupakan kitab suci Hindu, kata mantan Sekjen Parisada Pusat ini, sangat kental dengan nilai-nilai moral. Tiap tradisi agama dan filsafat yang berkembang dari spirit Weda diwarnai oleh nilai-nilai moral. Secara umum terdapat beberapa nilai moral dalam Weda yaitu kebenaran (satya), kemurahan hati (dana), pengendalian diri (tapa), tanpa kekerasan (ahimsa) dan rasa iba (compassion). Satya merupakan nilai yang paling penting di dalam Hindu. Agama mengajarkan umat menjadi manusia yang benar, menghindari segala bentuk kebohongan, kecurangan, keangkuhan dan kesalahan.

Pengendalian diri (tapa) juga menempati posisi penting dalam mewujudkan keseimbangan unsur fisik dan mental, unsur sekala dan niskala, material dan spiritual. Pengendalian diri menjadi sangat penting manakala kita mewujudkan ketenangan pikiran, sehingga mampu merefleksikan diri yang selalu ditutupi oleh indra dan ahamkara (ego), ujar mantan anggota DPRD Badung dan Bali ini. Ahimsa, kata Gunadha, tak hanya menyangkut tindakan tetapi juga pikiran dan perkataan. Kekerasan yang terjadi selama ini di berbagai daerah sebenarnya dimulai dari kekerasan dalam pikiran. Sudah menjadi semacam dalil bahwa produk-produk apa saja yang lahir dari pikiran (manah) sangat rentan dengan kekerasan. Karena itu umat mesti berpikir, berkata dan bertindak tidak sampai menyebabkan orang lain ketakutan serta cemas.

Mampu Mengendalikan Diri

Manusia yang ideal, kata Gunadha, adalah mereka yang mampu mengendalikan diri, berbuat baik kepada sesama, dan selalu siap mengorbankan hidupnya demi kebaikan orang lain (gumawe sukaning len). Dikatakannya, pengendalian diri (tapa) amat penting ditajamkan pemaknaannya. Dalam konteks kekinian, sesorang mesti berupaya keras melakukan tapa agar tidak terjadi perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Umat hendaknya tidak seperti gula atau garam yang jika dimasukkan ke dalam air menjadi larut. Umat mesti mampu seperti minyak dengan air. Kendati dijadikan satu, keduanya tetap tidak larut.

Di samping itu, yasa kerti juga penting lebih dikedepankan. Pengabdian kepada hal yang lebih besar, seperti ngertian jagat agar rahayu penting lebih dimantapkan. Tak kalah pentingnya umat melakukan upawasa (puasa).
Puasa di sini, tak hanya berarti tidak makan dan minum. Luas dari pengertian itu, umat mesti melakukan puasa berbicara yang justru memprovokasi orang lain untuk melakukan tindakan yang menyimpang. Puasa bentuk lainnya, tidak berpikir negatif terhadap orang lain dan tidak menyakiti hati orang lain. Yang terpenting lagi, umat berpuasa tidak melakukan tindak kekerasan, terlebih dengan nyama braya sendiri.

MAKALAH FILSAFAT ILMU TENTANG HUBUNGAN ILMU DAN FILSAFAT

Sebelum penulis membahas tentang bagaimana hubungan antara ilmu dengan filsafat agar ada kejelasan kita harus tahu apa itu yang dinamakan dengan ilmu dan apa yang dinamakan filsafat.

1.Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama. Arti dasar dari kata ini adalah pengetahuan. Penggunaan kata ilmu dalam proposisi bahasa Indonesia sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Kata science itu sendiri memang bukan bahasa Asli Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, Scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari kata scientia yang berarti pengetahuan. Scientia bersumber dari bahasa Latin Scire yang artinya mengetahui.1 Terlepas dari berbagai perbedaan asal kata, tetapi jika benar ilmu disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris, maka pengertiannya adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dipakai dalam bahasa Indonesia, kata dasarnya adalah “tahu”.2 Secara umum pengertian dari kata “tahu”
ini menandakan adanya suatu pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman dan pemahaman tertentu yang dimiliki oleh seseorang.3
Pendapat yang sama diungkapkan M. Quraish Shihab. Ia berpendapat bahwa ilmu berasal dari bahasa Arab, ilm. Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Karena itu, segala bentuk kata yang terambil dari kata ‘ilm seperti kata ‘alm (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘alam (gunung-gunung) dana ‘alamat mengandung objek pengetahuan. Ilmu dengan demikian dapat diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.4
Athur Thomson mendefinisikan ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sangat sederhana.5 S. Hornby mengartikan ilmu sebagai: Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact (ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta.6 Kamus bahasa Indonesia, menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Kamu ini juga menerangkan bahwa ilmu dapat diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir dan bathin.
Poincare menyebutkan bahwa ilmu berisi kaidah-kaidah dalam arti definisi yang tersembunyi (science consist entirely of convertions in the sence of disguised definitions). Pengertian dan kandungan ilmu yang dicoba ditawarkan Poincare ini, harus pula diakui memperoleh penolakan dari berbagai ahli. Bahkan ada anggapan yang menyatakan bahwa pikiran Poincare ini merupakan kesalahan besar. Le Ray seolah menjadi antitesis dari pemikiran Poincare. Le Ray misalnya menyatakan bahwa “Science consist only of consecrations and it is solely to this circumstance that is owes its apparent certainly”. Le Ray juga menyatakan bahwa science cannot teach us the truth, it’s can serve us only as a rule of action (ilmu tidak mengajarkan tentang kebenaran, ia hanya menyajikan sejumlah kaidah dalam berbuat.7 Dari beberapa definisi ilmu di atas, maka, kandungan ilmu berisi tentang; hipotesa, teori, dalil dan hukum.
Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa hakekat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu sedikit berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak memerlukan kepastian kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya satu keseluruhan ide yang mengacu kepada objek atau alam objek yang sama saling berkaitan secara logis.
Setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan penalaran masing-masing orang. Ilmu akan memuat sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang sepenuhnya belum dimantapkan. Oleh karena itu, ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berpikir metodik serta tertata rapi. Alat bantu metodologis yang penting dalam konteks ilmu adalah terminology ilmiah.

2.Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia dan philoshophos. Menurut bentuk kata, philosophia diambil dari kata philos dan shopia atau philos dan sophos. Philos berarti cinta dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Dalam pengertian ini seseorang dapat disebut telah berfilsafat apabila seluruh ucapannya dan perilakunya mengandung makna dan ciri sebagai orang yang cinta terhadap kebijaksanaan, terhadap pengetahuan dan terhadap hikmah.8
Pada awalnya, kata sofia lebih sering diartikan sebagai kemahiran dan kecakapan dalam suatu pekerjaan, seperti perdagangan dan pelayaran. Dalam perkembangan selanjutnya, makna dari kata kemahiran ini lebih dikhususkan lagi untuk kecakapan di bidang sya’ir dan musik. Makna ini kemudian berkembang lagi kepada jenis pengetahuan yang dapat mengantarkan manusia untuk mengetahui kebenaran murni. Sofia dalam arti yang terakhir ini, kemudian dirumuskan oleh Pythagoras bahwa hanya Dzat Maha Tinggi (Allah) yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, manusia hanya dapat sampai pada sifat “pencipta kebijaksanaan”. Pythagoras menyatakan: “cukup seorang menjadi mulia ketika ia menginginkan hikmah dan berusaha untuk mencapainya.”9
Harun Hadiwijono berpendapat bahwa filsafat diambil dari bahasa Yunani, filosofia. Struktur katanya berasal dari kata filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Dalam arti itu, menurut Hadiwijono filsafat mengandung arti sejumlah gagasan yang penuh kebijaksanaan. Artinya, seseorang dapat disebut berfilsafat ketika ia aktif memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih memperoleh kebijaksanaan. Kata filsafat dalam pengertian ini lebih berarti sebagai “Himbauan kepada kebijaksanaan”.10
Harun Nasution beranggapan bahwa kata filsafat bukan berasal dari struktur kata Philos dan shopia, philos dan shophos atau filosofen. Tetapi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang struktur katanya berasal dari kata philien dalam arti cinta dan shofos dalam arti wisdom. Orang Arab menurut Harun memindahkan kata Philosophia ke dalam bahasa mereka dengan menyesuaikan tabi’at susunan kata-kata bahasa Arab, yaitu filsafat dengan pola (wajan) fa’lala, fa’lalah, dan fi’la. Berdasarkan wajan itu, maka penyebutan kata filsafat dalam bentuk kata benda seharusnya disebut falsafat atau Filsaf.11
Harun lebih lanjut menyatakan bahwa kata filsafat yang banyak dipakai oleh masyarakat Indonesia, sebenarnya bukan murni berasal dari bahasa Arab sama seperti tidak murninya kata filsafat terambil dari bahasa Barat, philosophy. Harun justru membuat kompromi bahwa filsafat terambil dari dua bahasa, yaitu Fil diambil dari bahasa Inggris dan Safah dari bahasa Arab. Sehingga kata filsafat, adalah gabungan antara bahasa Inggris dan Arab. Berfilsafat artinya berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalannya. Atas dasar itu, maka menurut Harun, secara etimologi filsafat dapat didefinisikan sebagai:
1.Pengetahuan tentang hikmah
2.Pengetahuan tentang prinsip atau dasar
3.mencari kebenaran
4.Membahas dasar dari apa yang dibahas
Ali Mudhafir berpendapat bahwa kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata Falsafah (Arab), Phyloshophy (Inggris), Philosophie (Jerman, Belanda dan Perancis). Semua kata itu, berasal dari bahasa Yunani Philosphia. Kata philosophia sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu Philien, Philos dan shopia. Philien berarti mencintai, philos berarti teman dan sophos berarti bijaksana, shopia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, menurut Ali Mudhafir ada dua arti secara etimologi dari kata filsafat yang sedikit berbeda. Pertama, apabila istilah filsafat mengacu pada asal kata philien dan shopos, maka ia berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (ia menjadi sifat). Kedua, apabila filsafat mengacu pada asal kata philos dan shopia, maka ia berarti teman kebijaksanaan (filsafat menjadi kata benda)12

3.Hubungan Antara Ilmu dan Filsafat
Berbagai pengertian tentang filsafat dan ilmu sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berikutnya akan tergambar pula. Pola relasi (hubungan) antara ilmu dan filsafat. Pola relasi ini dapat berbentuk persamaan antara ilmu dan filsafat, dapat juga perbedaan di antara keduanya.
Di zaman Plato, bahkan sampai masa al Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh disebut tidak ada. Seorang filosof pasti menguasi semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praksis, berujung pada loncatan ilmu dibandingkan dengan loncatan filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, perkembangan ilmu pengetahuan yang didukung dengan kecanggihan teknologi, telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat bahkan seolah lebih sempit dibandingkan dengan masa awal perkembangannya, dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian muncul suatu anggapan bahwa untuk saat ini, filsafat tidak lagi dibutuhkan bahkan kurang relevan dikembangkan ole manusia. Sebab manusia hari ini mementingkan ilmu yang sifatnya praktis dibandingkan dengan filsafat yang terkadang sulit “dibumikan”. Tetapi masalahnya betulkah demikian?
Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis. Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen.13 Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung Spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan sistem pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang terteoritisasi.14 Kebenaran ilmu dibatasi hanya pada sepanjang pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yang koprehensif, yakni; yang luas, yang umum dan yang universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.
Lalu jika demikian, dimana saat ini filsafat harus ditempatkan? Menurut Am. Saefudin, filsafat dapat ditempatkan pada posisi maksimal pemikiran manusia yang tidak mungkin pada taraf tertentu dijangkau oleh ilmu. Menafikan kehadiran filsafat, sama artinya dengan melakukan penolakan terhadap kebutuhan riil dari realitas kehidupan manusia yang memiliki sifat untuk terus maju.15
Ilmu dapat dibedakan dengan filsafat. Ilmu bersifat pasteriori. Kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Sedangkan filsafat bersifat priori, yakni; kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian. Sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data emfiris seperti dimiliki ilmu. Karena filsafat bersifat spekulatif dan kontemplatif yang ini juga dimiliki ilmu. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tetapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuan melalui observasi dan eksperimen atau memperoleh justifikasi kewahyuan. Dengan demikian, tidak setiap filosof dapat disebut sebagai ilmu, sama seperti tidak semua ilmuwan disebut filosof. Meski demikian aktifitas berpikir. Tetapi aktivitas dan ilmuwan itu sama, yakni menggunakan aktifitas berpikir filosof. Berdasarkan cara berpikir seperti itu, maka hasil kerja filosofis dapat dilanjutkan oleh cara kerja berfikir ilmuwan. Hasil kerja filosofis bahkan dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu. Namun demikian, harus juga diakui bahwa tujuan akhir dari ilmuwan yang bertugas mencari pengetahuan, sebagaimana hasil analisa Spencer, dapat dilanjutkan oleh cara kerja berpikir filosofis.
Di samping sejumlah perbedaan tadi, antara ilmu dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosofis, memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan, sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta. Sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya.
Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa filsafat di satu sisi dapat menjadi pembuka bagi lahirnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lainnya ia juga dapat berfungsi sebagai cara kerja akhir ilmuwan. “Sombongnya”, filsafat yang sering disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) dapat menjadi pembuka dan sekaligus ilmu pamungkas keilmuan yang tidak dapat diselesaikan oleh ilmu.
Kenapa demikian? Sebab filsafat dapat merangsang lahirnya sejumlah keinginan dari temuan filosofis melalui berbagai observasi dan eksperimen yang melahirkan berbagai pencabangan ilmu. Realitas juga menunjukan bahwa hampir tidak ada satu cabang ilmu yang lepas dari filsafat atau serendahnya tidak terkait dengan persoalan filsafat. Bahkan untuk kepentingan perkembangan ilmu itu sendiri, lahir suatu disiplin filsafat untuk mengkaji ilmu pengetahuan, pada apa yang disebut sebagai filsafat pengetahuan, yang kemudian berkembang lagi yang melahirkan salah satu cabang yang disebut sebagai filsafat ilmu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa antara ilmu dan filsafat ada persamaan dan perbedaannya.
Perbedaannya ilmu bersifat Posterior kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang sedangkan filsafat bersifat priori kesimpulan-kesimpulannya ditarik tanpa pengujian, sebab filsafat tidak mengharuskan adanya data empiris seperti yang dimiliki ilmu karena filsafat bersifat spekulatif.
Di samping adanya perbedaan antara ilmu dengan filsafat ada sejumlah persamaan yaitu sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan aktivitas ilmu digerakan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab atas pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu dari mana awalnya dan akan ke mana akhirnya
Selanjutnya kritik dan saran kami harapkan dari semua pihak demi perbaikan penulisan selanjutnya.

TATA SUSILA

I. PENDAHULUAN
Tata susila berarti peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia. Tujuan tata susila ialah untuk membina hubungan yang selaras atau hubungan yang rukun antara seseorang (jiwatma) dengan mahluk yang hidup di sekitarnya, hubungan yang selaras antara keluarga yang membentuk masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, antara satu bangsa dengan bangsa yang lain dan antara manusia dengan alam sekitarnya (Mantra, 5).
Telah menjadi kenyataan bahwa hubungan yang selaras atau rukun antara seseorang dengan mahluk sesamanya, antara anggota sesuatu masyarakat, suatu bangsa, manusia dan lain sebagainya, menyebabkan hidup yang aman, rukun, damai dan sentosa. Suatu keluarga, masyarakat, bangsa atau manusia, yang anggota-anggotanya hidup tidak rukun atau tidak selaras pasti akan runtuh, hancur dan ambruk. Hubungan yang rukun, selaras dan harmoni itu berarti kebahagiaan, dan sebaliknya hubungan yang kacau atau tidak rukun itu berarti kehancuran (mala petaka).
Tata susila membina watak manusia untuk menjadi anggota keluarga, warga masyarakat yang baik, menjadi putra bangsa dan menjadi manusia yang berpribadi mulia yang pada akhirnya dapat membimbing manusia untuk hidup harmoni mencapai pantai bahagia.
Selain daripada itu, tata susila juga menuntun seseorang untuk mempersatukan dirinya dengan sesama mahluk dan akhirnya menuntun mereka untuk mencapai kesatuan jiwatmanya dengan paramātma (Hyang Widhi Wasa).
Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi, hanya dapat dinikmati bilamana roh seseorang (jiwatma) dapat mencapai kesatuan dengan Hyang Widhi Wasa, karena hanya kesatuan antara jiwatma dengan Hyang Widhi Wasa itu sajalah yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang, tentram dan damai karena murninya roh (jiwatma) yang disebut ananda. Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita VI.20 :
“yatro paramate chittam, niruddham yoga sevayā yatra chai vātmanāmanam, pasyam ātmani tusyanti”





Maksudnya :

Bilamana hati (seseorang) merasa berbahagia karena ditentramkan oleh latihan yoga; bilamana ia melihat Hyang Widhi (Paramātma) dengan pengamatan rohaninya (Jiwātma), maka ia akan menikmati kebahagiaan rohani (ananda).

Bahkan pada sloka 22 bab yang sama dinyatakan bahwasannya : “Setelah mendapat kebahagiaan yang ia pandang tiada terbanding itu dan tetap ada di dalam kebahagiaan itu, tiada ia akan gentar, walaupun ditimpa malapetaka betapapun hebatnya.

II. DASAR TATA SUSILA
Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal abadi, ibarat landasan/fondasi sebuah bangunan dimana suatu bangunan harus didirikan. Jika landasan itu tidak kuat, maka bangunan tersebut mudah benar roboh/ambruk. Demikian juga halnya dengan tata susila, bila tidak dibangun atas dasar agama sebagai landasan yang kokoh/kuat, maka tata susila itu tidak mendalam dan tidak meresap dalam diri pribadi tiap orang.
Tata susila yang berdasarkan ajaran-ajaran agama, atau yang berpedoman atas ajaran kerohanian sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam Upanisad (Vedanta). Dalam Upanisad terdapat suatu Sutra yang berbunyi : “Brahma atma aikyam” yang artinya Brahma (Tuhan) dan atma (jiwatma) adalah tunggal. Oleh karena jiwatma semua mahluk tunggal, tunggal dengan Brahmā, maka jiwatma suatu mahluk tunggal juga dengan semua jiwatma, dan jiwatma kitapun tunggal dan sama dengan jiwatma (roh) semua mahluk.
Keinsyafan dan kesadaran akan tunggalnya jiwatma (roh) kita, maka kita akan merasakan dengan renungan (kontemplasi) kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya satu dan sama dengan mahluk lainnya.
Hyang Widhi Wasa berada dimana-mana dan tunggal, menjadi sumber hidup segala ciptaan-Nya yang berpisah-pisah. Sebagai halnya matahari yang menyinari segalanya, meskipun ribuan rumah yang dibatasi tembok-tembok yang tinggi, akan tetapi sinar matahari akan tetap menyinari semuanya. Begitulah mahluk dengan badan yang berbeda-beda, dihidupkan/dijiwai oleh Sang Hyang Widhi Wasa.
Jika tata susila mendasarkan ajarannya hanya kepada ke Esaan Hyang Widhi Wasa saja, yang menyadari dasar semua makhluk, maka berarti tiap-tiap perbuatan yang baik dan buruk yang dilakukan oleh seseorang pada orang lain, berarti juga berbuat baik atau buruk pada dirinya sendiri.
Para Rsi/orang-orang suci telah mengetahui kebenaran yang utama ini, yaitu bahwa Paramātma ditiap-tiap orang adalah tunggal, mereka lalu membangunkan tata susila di atas kebenaran ini. Oleh karena itu kekuasaan kebenaran tata susila dalam Weda yang lainnyapun adalah mutlak, karena berdasarkan kebenaran abadi. Sebagaimana tertuang dalam Bhagawadgita X, 20 sebagai berikut :
“Ahamātma gudakesa, sarvabhutasayasthitah aham adischa, madhyam cha, bhutanam anta eva cha”.

Maksudnya :
Wahai Arjuna (Gudakesa) Aku adalah atma, yang bersemayam di dalam hati semua makhluk dan Aku awal mula, pertengahan dan akhir makhluk itu sendiri.
Berikutnya bab yang sama sloka 27 disebutkan bahwa orang yang melihat Tuhan (Brahma) yang kekal abadi, bersemayam merata di dalam semua makhluk yang tidak kekal (dapat binasa) dialah sebenarnya yang melihat.
Jadi tata susila agama Hindu dibangun atas dasar kebenaran yang maha adil. Jika bertentangan dengan hal ini akan timbul ketidakselarasan di dalam makhluk itu sendiri.

III. BENAR DAN SALAH
Kapankah perbuatan itu dianggap benar dan bilamanakah perbuatan itu dianggap salah? Hyang Widhi Wasa menuntun dunia ini melalui jalan yang benar. Segala sesuatu yang dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi Wasa sendiri adalah benar, dan segala sesuatu yang bertentangan jalan ini adalah salah.
Kebahagiaan dan penderitaan makhluk lain berarti kebahagiaan dan penderitaan diri sendiri. Menyiksa orang lain sama dengan menyiksa diri sendiri, karena jiwātma kita sendiri tunggal dengan jiwātma semua makhluk. Menyadari akan tunggalnya jiwātma yang ada dalam diri kita sendiri dengan jiwātma semua makhluk, maka kita berhasrat melakukan amal kebaikan terhadap semuanya. Kesadaran akan tunggalnya jiwātma sendiri dengan Brahma. Amal kebaikan dan kebajikan yang dilakukan untuk kesejahteraan semua makhluk disebut dharma; Dan kesatuan atau penunggalan jiwātma dengan Brahma disebut moksa. Jalan untuk beramal saleh melakukan dharma disebut prawerti marga dan jalan untuk mencapai kesatuan jiwātma dengan Brahma disebut Niwrti marga. Orang yang mendapat moksa disebut mukti, dan roh yang telah moksa menjadi murni dan sama dengan Brahma. Kemurniaan jiwātma ini menimbulkan suatu rasa bahagia yang tiada terbanding dan bahagia yang abadi (sukha tan pa wali dukha) yang disebut ananda.
Dalam Chandoya Upanisad terdapat Sutra (ungkapan pendek penuh makna) “Tat twam asi” yang artinya : Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu; semua mahluk adalah Engkau. Engkaulah awal mula roh (jiwatma) dan zat (prakerti) semua mahluk. Aku ini adalah mahluk yang berasal dari Mu. Oleh karena itu jiwātmaku dan prakrtiku tunggal dengan jiwātma semua mahluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua mahluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau ; aku adalah Brahma “Aham Brahma Asmi” (Brhadaranyaka Upanisad 1.4.10).
Menurut ajaran Upanisad dan Tattwa-tattwa bahwasannya ada satu atma yang memberi hidup kepada semua mahluk dan menggerakkan alam semesta yang disebut Paramātma. Adapun atma yang terdapat didalam diri tiap-tiap mahluk adalah bagian dari paramātma itu sendiri yang disebut juga jiwātma.
Dalam Bhagavadgita XIII.33 dinyatakan :
“Bagaikan satu matahari menerangi seluruh dunia, demikian juga paramātma (Hyang Widhi) dari alam semesta menerangi dan menjiwai (memberi hidup) seisi alam (semua mahluk) wahai Arjuna.
Tujuan terakhir hidup kita adalah menuju moksa, yaitu penyatuan (penunggalan) jiwātma dan paramātma.
Jalan yang benar adalah segala sesuatu yang menuju kearah kesatuan. Segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. Untuk mengetahui jalan yang benar Hyang Widhi telah memberi tuntunan berupa wahyu yang diterima oleh para Rsi yang dituangkan dalam Veda yang baik Sruti maupun Smrti.
Hukum-hukum yang sederhana yang diamanatkan didalam pustaka suci oleh para Rsi pada hakekatnya adalah berpikir yang baik dan benar (manacika) diikuti dengan ucapan/kata-kata yang baik dan benar (wacika) dan patut diwujudnyatakan pada sikap/prilaku yang baik dan benar (kayika). Ketiga hal tersebut yaitu : manacika, wacika dan kayika yang disebut Tri Kaya Parisudha.

IV. SUBHA DAN ASUBHA KARMA
Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadigita bahwa kecendrungan budhi manusia atas 2 (dua) bagian yaitu :
1. Daivi Sampat yaitu mutu kedewataan dan
2. Asuri Sampat yaitu mutu keraksasaan.
Dari kedua kecendrungan ini menimbulkan dua prilaku atau perbuatan yaitu perbuatan baik (subha karma) dan perbuatan buruk atau tidak baik (asubha karma).
Walaupun kemampuan yang dimiliki oleh manusia tunduk pada hukum Rvabhneda yakni subha dan asubha karma (baik dan buruk) namun kemampuan itu sendiri hendaknya diarahkan pada subha karma (perbuatan baik).
Sebab salah satu hakekat kehidupan menjelma sebagai manusia sebagai pancaran dari kemampuan atau daya pikirnya adalah untuk memilah dan memilih yang baik dan benar. Sebagaimana disuratkan dalam Sarasamuscaya 2 sebagai berikut :
“Manusah sarvabhutesu, vartate vai subhasubhe asubhesu samavistam, subhesveva vakarayet”
Maksudnya :
Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia.
Walaupun secara tegas sulit menentukan mana perbuatan baik dan buruk, akan tetapi menurut ajaran Hindu secara umum yang disebut perbuatan baik (subhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang dibenarkan oleh ajaran agama yang dapat menuntun manusia itu ke dalam hidup yang sempurna, bahagia lahir bathin dan menuju kepada persatuan Atman dengan Brahman (Hyang Widhi Wasa). Sedangkan perbuatan yang buruk (asubhakarma) adalah segala bentuk tingkah laku yang menyimpang dan bertentangan dengan hal tersebut di atas tadi.
Untuk lebih jelasnya, mana bentuk-bentuk perbuatan baik (subhakarma) dan bentuk-bentuk perbuatan yang tidak baik (asubhakarma) menurut ajaran Hindu akan dipaparkan sebagai berikut :

A. Śubhakarma (Perbuatan Baik)
Śubhakarma adalah sumber dari kesusilaan yaitu segala tingkah laku yang baik dan mulia yang selaras dengan ketentuan dharma (Oka, 35). Ada beberapa bentuk Śubhakarma diantaranya :

1. Tri Kaya Parisudha
Tri Kaya Parisudha artinya tiga bentuk perilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (Manacika), berkata yang benar (Wacika) dan berbuat yang baik dan benar (Kayika). Dari Tri Kaya Parisudha ini timbul adanya sepuluh pengendalian diri yaitu tiga berdasarkan pikiran yang terdiri dari :
- Tidak menginginkan sesuatu yang tidak kekal.
- Tidak berpikiran buruk terhadap mahluk lain.
- Tidak mengingkari adanya hukum karma
Berikutnya empat hal yang berdasarkan ucapan/kata-kata rinciannya adalah :
- Tidak suka mencaci maki
- Tidak berkata kasar pada mahluk lain
- Tidak memfitnah
- Tidak ingkar janji atau ucapan
Sedangkan tiga macam yang berdasarkan perbuatan adalah :
- Tidak menyiksa maupun membunuh mahluk lain
- Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda
- Tidak berzina



2. Catur Paramita
Catur Paramita adalah empat bentuk budi yang luhur yang diaplikasikan dalam sikap dan perilaku yang terdiri dari :
- Karuna yaitu rasa belas kasihan/kasih sayang terhadap semua mahluk yang mendambakan terhapusnya penderitaan.
- Mudita adalah sifat dan sikap menyenangkan orang lain.
- Upeksa artinya sifat dan sikap menghargai orang lain sehingga tidak ada rasa melecehkan dan menistakan orang lain.
- Maitri adalah sifat dan sikap lemah lembut tidak berlaku kasar untuk kebahagiaan semua mahluk.

3. Panca Yama Brata
Panca Yama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam kaitannya dengan perbuatan untuk mencapai kesempurnaan rohani dan kesucian bathin, terdiri dari :
- Ahimsa artinya tidak menyiksa dan membunuh mahluk lain dengan sewenang-wenang.
- Brahmacari artinya pengendalian nafsu birahi.
- Satya artinya setia, jujur, benar, baik dalam pikiran, ucapan dan perbuatan.
- Awyaha(ra)/rika artinya mengupayakan ketulusan dan kedamaian.
- Asteya/Astenya artinya tidak mencuri atau menggelapkan harta benda untuk orang lain.

4. Panca Nyama Brata
Panca Nyama Brata adalah lima macam pengendalian diri dalam tingkat mental untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian bathin, yang terdiri dari :
- Akroda artinya tidak cepat atau suka marah.
- Guru Susrusa artinya hormat, taat dan tekun melaksanakan ajaran dan nasehat guru.
- Sauca artinya kesucian lahir bathin.
- Aharalaghawa artinya pengaturan makan dan minum.
- Apramada artinya ketakwaan melakukan kewajiban mengamalkan agama.

5. Asta Sidhhi
Asta Siddhi adalah delapan prihal tuntunan rohani untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup lahir bathin, yang terdiri dari :
- Dana artinya senang berdana punia.
- Adnyana artinya rajin memperdalam ajaran kerohanian (Ketuhanan).
- Sabda artinya dapat mendengar wahyu karena intuisinya yang telah mekar.
- Tarka artinya dapat merasakan kebahagiaan dan ketentraman dalam samadhi.
- Adyatmika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam gangguan pikiran yang tidak baik.
- Adidewika Dukha artinya dapat mengatasi segala macam penyakit (kesusahan yang berasal dari hal-hal yang gaib), seperti kesurupan, ayan.
- Adi Baktika artinya dapat mengatasi segala kesusahan yang berasal dari roh-roh halus, racun dan orang-orang sakti.
- Saurdha adalah kemampuan yang setingkat dengan yogiswara yang telah mencapai kelepasan.

6. Dasa Dharma
Dasa Dharma adalah sepuluh kebenaran/kewajiban suci, yang terdiri dari :
- Sauca artinya murni rohani dan jasmani
- Indryaningraha artinya mengekang indria/nafsu.
- Hrih artinya tahu dengan rasa malu.
- Widya artinya bersifat keihunan dan bijaksana.
- Satya artinya jujur dan setia terhadap kebenaran.
- Akrodha artinya sabar (mengekang kemarahan).
- Drti artinya murni dalam bathin.
- Ksama artinya suka mengampuni.
- Dama artinya kuat mengendalikan pikiran.
- Asteya artinya tidak melakukan kecurangan.

B. Aśubhakarma (Perbuatan Buruk)
Aśubhakarma adalah segala tingkah laku yang tidak baik yang selalu menyimpang dan bertentangan dengan Śubhakarma (perbuatan baik), merupakan sumber dari kedursilaan yang mengarah pada kejahatan. Adapun bentuk-bentuk Aśubhakarma yang harus dihindari dalam kehidupan ini antara lain :

1. Tri Mala
Tri Mala adalah tiga bentuk perilaku manusia yang sangat kotor yang terdiri dari :
- Moha artinya pikiran, perasaan yang curang, kotor dan angkuh.
- Mada artinya ucapan yang kotor dan dusta.
- Kasmala artinya perbuatan yang hina dan kotor.

2. Catur Pataka
Catur Pataka adalah empat tingkatan dosa sesuai dengan karma yang dilakukan, terdiri dari :
• Pataka
- Brunaha artinya menggugurkan bayu dalam kandungan.
- Purusaghna artinya menyakiti orang.
- Kanyacora artinya mencuri perempuan pingitan.
- Agrayajaka artinya bersuami istri melewati kakak.
- Ajnatasamwratsarika artinya bercocok tanam tanpa masanya.
• Upa Pataka terdiri dari :
- Gowadha artinya membunuh sapi.
- Juwatiwradha artinya membunuh gadis.
- Bālawadha artinya membunuh anak.
- Agrhadaha artinya membakar rumah/ merampok.
• Maha Pataka, terdiri dari :
- Brahmanawadha artinya membunuh orang suci/ pendeta.
- Surapana artinya suka meminum alkohol/ suka mabuk.
- Swarnasteya artinya suka mencuri emas.
- Kanyawrighna artinya memperkosa gadis.
- Guruweradha artinya membunuh guru.
• Ali Pataka, terdiri dari :
- Swraputribhayana artinya memperkosa saudara perempuan.
- Matrabhayana artinya memperkosa ibu.
- Linggagrahana artinya merusak tempat suci.

3. Sad Ripu
Sad Ripu adalah enam musuh dalam diri manusia, terdiri dari :
- Kāma : sifat penuh nafsu indrya
- Lobha : sifat loba dan serakah
- Krodha : sifat marah, bengis dan kejam
- Mada : sifat suka mabuk-mabukan
- Moha : sifat bingung dan angkuh
- Matsarya : sifat dengki dan irihati

4. Sad Atatayi (enam pembunuhan kejam) terdiri dari :
- Agnida artinya membakar hak milik orang lain.
- Wisada artinya meracun orang lain
- Atharwa artinya melakukan ilmu hitam
- Sastraghna artinya suka mengamuk/merampok
- Dratikrama artinya suka memperkosa
- Rajapisuna artinya suka memfitnah

5. Sapta Timira
Sapta Timira adalah tujuh kegelapan pikiran yang terdiri dari :
- Surupa artinya mabuk akibat ketampanan
- Dhana artinya mabuk akibat kekayaan
- Guna artinya mabuk akibat kepandaian
- Kulina artinya mabuk akibat keturunan bangsawan
- Yowana artinya mabuk akibat keremajaan
- Sura artinya mabuk akibat minuman keras
- Kasuran artinya mabuk akibat kemenangan

V. PENUTUP
Menyimak dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata susila adalah peraturan tingkah laku yang baik dan mulia demi kesejahteraan dan kerahayuan serta hubungan yang harmoni sesamanya.
Intinya terletak pada pengendalian pikiran, perkataan dan perbuatan untuk mewujudkan Trikaya Parisudha yaitu berpikir, berkata dan berprilaku yang baik dan benar.
Demikianlah uraian singkat tentang Tata Susila, semoga bermanfaat bagi kita semua.


referensi:

Kajeng I Nyoman, dkk., Sarasamuscaya, 1991,
Yayasan Dharma Sarathi ; Jakarta.

Mantra, I.B. Prof. Dr., Tata Susila Hindu Dharma,
PHDIP Bag. Penyalur – Penerbit, 1982.

Oka Netra, A.A. Gde, Drs., Tuntunan Dasar Agama Hindu,
Ditjen Bimas Hindu dan Budha, 2001.

Pendit, S. Nyoman., Bhagavadgita,
PT. Daya Prana Press, Jakarta, 1988.

Sura, I Gede, Drs., Pengendalian Diri dan Etika Dalam Agama Hindu, 1985.

POKOK-POKOK KEIMANAN (SRADHA) DALAM AGAMA HINDU

Sesungguhnya setiap agama di muka bumi ini bertitik tolak dari kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadapNya. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan kita semakin mantap, bahwa semuanya itu pasti ada sebab-musababnya. Sebab yang terakhir yang menentukan segala-galanya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun kita tidak boleh cepat-cepat percaya kepada sesuatu, namun percaya itu penting dalam kehidupan ini. Banyak hal dan kegiatan yang kita laksanakan dalam kehidupan ini hanya berdasarkan kepercayaan saja. Setiap hari kita menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Demikian pula adanya bulan dan bintang-bintang yang bertebaran di angkasa. Belum lagi adanya berbagai mahluk hidup, tumbuh-tumbuhan dan aneka isi dunia. Adanya pergantian siang dan malam, adanya kelahiran, usia tua dan kematian, semuanya ini mengantarkan kita harus percaya dan yakin terhadap Tuhan. Tuhanlah yang merupakan sumber dari segala yang terjadi di alam semesta ini.
Karena agama itu adalah kepercayaan maka dengan agama pula kita akan merasa mempunyai suatu pegangan iman yang menambatkan kita pada suatu pegangan yang kokoh. Pegangan itu tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) itu sendiri. Kepada-Nyalah kita menyembah dan memasrahkan diri, karena bagi umat beragama tidak ada tempat lain dari pada-Nya tempat kita kembali dan berserah diri.
Keimanan (Sradha) kepada Tuhan ini merupakan dasar kepercayaan agama Hindu. Inilah yang menjadi pokok-pokok keimanan agama Hindu. Adapun pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi lima bagian disebut Panca Sraddha terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala, Punarbhawa dan Moksa.

A. Brahman (Percaya adanya Tuhan/Hyang Widhi)
Percaya terhadap Tuhan, mempunyai pengertian yakin/iman terhadap Hyang Widhi/Tuhan itu sendiri. Hal ini merupakan pengakuan atas dasar keyakinan bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada, Maha Kuasa, Maha Adil dan Bijaksana, Maha Esa dan Maha segala-galanya.
Tuhan Yang Maha Esa yang juga disebut Hyang Widhi (Brahman) Ia yang kuasa atas segalanya ini. Tidak ada apapun yang luput dari kuasa-Nya. Ia sebagai pencipta, sebagai pemelihara, dan pelebur alam semesta dengan segala isinya. Dalam Bhagawadgita X.20 :
Aham atma gudakesa, sarva bhūtāsya sthutah
Aham adis cha, madyam eka, bhutanam anta eva cha

Aku adalah jiwa yang bersemayam dalam hati semua insani. Wahai Gudakesa, Aku adalah permulaan pertengahan dan akhir dari semua mahluk dan yang ada ini.

Hyang Widhi bersifat maha ada, juga berada di setiap mahluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanent dan transenden). Beliau merasap di segala tempat yang ada (wyapi-wyapaka) serta tidak berubah dan kekal abadi (nirvikara) bersifat gaib (suksme) dan abstrak tetapi ada.
Dalam Bhuwana Kosa dinyatakan sebagai berikut :
“Bhatara Siwa sira wyapaka, sira suksma tan keneng angên-angên, kadyangganing akasa tan kagrahita dening manah mwang indrya”

Tuhan (Siva) Dia ada dimana-mana, Dia gaib sukar dibayangkan, bagaikan akasa (ether) Dia tidak dapat dibayangkan oleh akal maupun panca indra.
Walaupun amat gaib tetapi Tuhan hadir dimana-mana. Beliau bersifat wyapi-wyapaka, meresapi segalanya, tiada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau ada disini dan berada di sana. Tuhan memenuhi jagatraya ini.

Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak terjangkau oleh pikiran dan indrya, yang gaib disebut dengan berbagai nama sesuai dengan jangkauan pikiran, namun Ia hanya satu Tunggal ada-Nya. Chandogya Upanisad IV.2.1 menyebutkan “Ekam eva Advityam Brahman” Tuhan hanya satu tidak ada dua-Nya. “Eko narayanad na dvityo sti kascit (Weda Sanggraha). Hanya satu Tuhan tidak ada duanya.
Kekawin Sutasoma menyebutkan : “.............Bhineka tunggalika tan hana dharma mangrva”
Berbeda-beda tetapi satu tidak ada “Dharma”/sat/kebenaran yang dua.
Mantram Rg. Weda I.46 menyebutkan :
“Indram nutram varunam agnim akur atho dwiyah sa suparmo garutman, ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh”.

Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, satu itu (Tuhan) Sang bijaksana menyebut banyak nama, seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Karena Tuhan tidak terjangkau oleh pikiran, maka orang membayangkan bermacam-macam sesuai dengan kemampuannya. Tuhan Yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsi-Nya. Ia disebut Brahma sebagai Pencipta, Wisnu sebagai Pemelihara dan Siwa sebagai Pamralina. Banyak lagi panggilan-Nya yang lain. Orang-orang menyembahNya dengan bermacam-macam cara pada tempat yang berbeda. KepadaNyalah orang bersaksi, berserah diri, mohon perlindungan dan petunjukNya agar menemukan jalan yang terang dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
B. Atman (Percaya adanya Jiwa)
Dalam berbagai Upanisad Atman dikatakan sebagai percikan dari Hyang Widhi/Tuhan (Paramātma). Atman dalam badan manusia disebut Jiwatma, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan ibarat kusir dengan kereta. Kusir adalah atma yang mengemudikan, kereta adalah badan.
Angustha matrah purusantarātman
Sada jananam hrdoya samuvishtthah
Hradam nisi manasbhi kerto yaetad
Viduramrstate bhavanti (Upanisad)

Ia adalah jiwa yang paling sempurna (Purusa), Ia adalah yang paling kecil, yang menguasai pengetahuan, yang bersembunyi dalam hati dan pikiran, mereka mengetahuinya menjadi abadi.

Satu “Sat” yang bersembunyi dalam setiap mahluk yang menghidupi semuanya, yang merupakan jiwa semua mahluk, raja dari semua perbuatan pada semua mahluk, saksi yang mengetahui dan tunggal. Demikian atman merupakan percikan kecil dari Paramātman, bagaikan titik embun berasal dari uapan air laut. Demikian juga percikan pancaran sinar matahari menerangi pelosok alam semesta ini.
Oleh karena atman adalah bagian dari Brahman maka atman pada hakekatnya memiliki sifat yang sama dengan sumbernya, yakni Brahman itu sendiri. Atman bersifat sempurna dan kekal abadi, tidak mengalami kelahiran dan kematian, bebas dari suka dan dukha.
Dalam Bhagawadgita II,23-25 disebutkan bahwa sifat-sifat atman sebagai berikut :
Senjata tidak dapat melukai Dia, dan api tak dapat membakarnya, angin tak dapat mengeringkan Dia, dan air tidak bisa membasahiNya.
Dia adalah abadi, tiada berubah, tidak bergerak, tetap selama-lamanya. Dia dikatakan tidak termanifestasikan, tidak dapat dipikirkan, tidak berubah-ubah, dan mengetahui halnya demikian engkau hendaknya jangan berduka.
Dia mengatasi segala elemen materi, kekal abadi dan tidak terpikirkan. Oleh karena itu atman tidak dapat menjadi subyek maupun obyek dari perubahan-perubahan yang dialami oleh pikiran, hidup dan badan jasmani. Karena semua bentuk-bentuk yang dialami ini bisa berubah, datang dan pergi, tetapi jiwa itu tetap langgeng untuk selamanya.
Perpaduan jiwatman dengan badan jasmani, menyebabkan Dia terpengaruh oleh sifat-sifat maya yang menimbulkan avidya (kegelapan). Jadi manusia lahir dalam keadaan avidya, yang menyebabkan ketidaksempurnaannya. Atman itu tetap sempurna, tetapi manusia itu sendiri tidaklah sempurna. Manusia tidak luput dari hukum lahir, hidup dan mati. Walaupun manusia itu mengalami kematian, namun atman itu tidak akan bisa mati. Hanya badan yang mati dan hancur, sedangkan atman tetap kekal abadi.
“Ibarat orang yang menanggalkan pakaian lama dan menggantikannya dengan pakaian yang baru demikian jiwa meninggalkan badan tua dan memasuki jasmani yang baru.
Apabila badan jasmani tua dan hancur, maka alam pikiran sebagai pembalut jiwa merupakan kendaraan baginya untuk berpindah-pindah dari satu badan ke badan lain yang disebut reinkarnasi atau punarbhawa sesuai dengan karma phalanya. Karena itu atman tidak akan selalu dapat kembali kepada asalnya yaitu Tuhan. Orang-orang yang berbuat baik di dunia akan menuju sorga dan yang berbuat buruk akan jatuh ke neraka. Di neraka jiwatman mendapat siksaan dan setelah itu menjelma terus berkelanjutan sampai jiwatman sadar akan jati dirinya sebagai atman terlepas dari pengaruh awidya dan mencapai moksa (kebahagiaan dan bersatu kembali kepada-Nya).



C. Karma Phala (Percaya akan Hukum Sebab Akibat)
Segala gerak (aktivitas) yang dilakukan disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah disadari atau diluar kesadaran kesemua itu disebut “karma” berasal dari √kr (bahasa Sanskerta) artinya bergerak atau berbuat. Menurut hukum sebab-akibat, maka setiap sebab pasti ada akibat. Demikian pula sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah atau hasil.
Dalam Slokantara, 68 dinyatakan : “......... Karma Phala ngaranika phalaning gawe hala hayu” maksudnya Karmaphala adalah akibat phala dari baik buruk suatu perbuatan (karma). Hukum karma itu sesungguhnya amat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk dan menentukan seseorang hidup bahagia atau menderita lahir bathin. Setiap orang berbuat baik (subha karma) pasti akan membuahkan hasil yang baik demikian pula sebaliknya.
Phala (hasil) dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat dirasakan (dinikmati). Tangan yang menyentuh es akan seketika merasakan dingin, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat memetik hasilnya. Setiap perbuatan akan meninggalkan bekas (ada bekas yang nyata dalam angan dan ada yang abstrak). Oleh karena itu hasil-hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima setelah di akhirat kelak atau adakalanya dinikmati pada kehidupan/penjelmaan yang akan datang.
Dengan demikian Karma Phala dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam yaitu :
1. Sancita Karmaphala ialah hasil perbuatan dalam kehidupan terdahulu yang dinikmati pada masa kehidupan ini.
2. Prarabda Karmaphala ialah hasil perbuatan pada masa kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi.
3. Kryamana Karmaphala ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat kehidupan ini, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Tegasnya, bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti segala hasil dari perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum perbuatan (karma).
Dalam Wrhaspati Tattwa.3 dinyatakan : “Wasana artinya bahwa semua perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini, orang akan mengecap akibatnya di alam lain, pada kelahiran nanti, apakah akibat itu baik atau buruk. Hal ini ibarat periuk yang diisi kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci, namun tetap saja masih ada bau kemenyan yang melekat pada periuk itu. (Inilah wasana namanya) seperti itu juga hal dengan karma wasana, ia ada pada atma, ia melekat padaNya dan mewarnai jiwatman itu sendiri.
Pengaruh hukum karma itu pulalah yang menentukan corak serta nilai dari watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak dan prilaku manusia di dunia ini. Ganjaran kepada roh yang selalu melakukan asubha karma (berbuat buruk/ dosa) akan bertambah merosot derajatnya ; seperti dinyatakan dalam (Slokantara 40.13-14).
“Dewa Neraka (menjelma) menjadi manusia, manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi taring, taring jahat menjadi bisa (upas) yang dapat membahayakan kehidupan ini.

D. Punarbhawa/Samsara (Percaya adanya Penitisan/Penjelmaan Kembali)
Punarbhawa artinya kelahiran berulang-ulang yang disebut reinkarnasi. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat sukha dan dukha. Samsara (punarbhawa) ini terjadi akibat jiwatman masih dipengaruhi/diliputi oleh kenikmatan dan kematian akan diikuti oleh kelahiran.
Sebab sebagai manusia sekarang ini adalah akibat baik dan buruknya karma itu juga. Setelah selesai menikmati phala dari perbuatan baik dan buruk menjelmalah ia mengikuti sifat karma phala itu. Adapun perbuatan baik atau buruk di akhirat tidak berakibat sesuatu apapun. Oleh karena itu yang sangat menentukan adalah perbuatan baik atau buruk yang dilakukan sekarang juga (Sarasamuscaya.7).
Karma dan Punarbhawa ini merupakan suatu proses yang terjalin erat. Setiap karma yang dilakukan atas dorongan asubha karma akan menimbulkan dosa dan atma akan mengalami neraka serta dalam punarbhawa yang akan datang akan mengalami penjelmaan dalam tingkat yang lebih rendah, sengsara atau menderita bahkan menjadi mahluk yang hina. Sebaliknya, setiap karma yang baik (subha karma) akan mengakibatkan atma menuju sorga dan jika menjelma kembali akan mengalami tingkat penjelmaan lebih sempurna/lebih tinggi (Sarasamuscaya.48).
Kesimpulannya dengan keyakinan akan punarbhawa ini maka orang harus sadar, bahwa bagaimanapun kelahirannya tergantung dari karma wasananya.
Oleh karena itu kelahiran kembali ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi.
“Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik. Demikianlah keuntungan dapat menjelma menjadi manusia (Sarasamuscaya.4).
kesimpulannya pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga untuk pergi ke sorga, segala sesuatu yang menyebabkannya agar tidak jatuh lagi, itulah hendaknya dilakukan.
Itulah sebabnya, maka seseorang hendaknya menggunakan kesempatan yang amat berguna ini untuk membebaskan diri dari kesenggsaraan dan menuju pada kebahagiaan yang abadi (moksa/kelepasan). Jadi setiap kelahiran sebagai manusia patutlah digunakan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas hidup ke jenjang yang lebih mulia dan luhur.

E. Moksa (Percaya adanya Kelepasan/Merdeka)
Sebagaimana makna sutra berupa sesanti tujuan agama Hindu “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma” maka moksa merupakan tujuan yang terakhir/tertinggi. Moksa adalah kebebasan dari keterikatan benda-benda duniawi dan terlepasnya atman dari pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumberNya.
Dalam keadaan ini atman mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi “Sat cit ananda”.
Orang yang telah mencapai moksa, tidak lahir lagi ke dunia karena tidak ada apapun yang mengikatnya. Ia telah bersatu dengan Nya. Bila air sungai telah menyatu dengan air laut, maka air sungai yang ada di laut itu akan kehilangan identitasnya. Tidak ada lagi perbedaan antara air sungai dengan air laut. Demikianlah juga halnya atman yang mencapai moksa. Ia akan kembali menyatu dengan sumbernya yaitu Brahman.
Dalam Bhagawadgita VII.19 disebutkan : “Pada akhir kelahiran manusia, orang yang berbudi (orang yang tidak lagi terikat oleh keduniawian) datang pada Ku karena (mereka) tahu Tuhan adalah segalanya, sungguh sukar dijumpai jiwa agung seperti itu. Berikutnya VIII.15 lebih ditegaskan lagi bahwa “Setelah sampai kepada Ku, mereka yang berjiwa agung ini tidak lagi menjelma ke dunia yang penuh dukha dan tak kekal ini dan mereka tiba pada kesempurnaan tertinggi.
Selain setelah di dunia akhirat, moksa juga dapat dicapai semasa hidup di dunia ini, (jiwan mukti) namun terbatas kepada orang-orang yang sudah bebas dari keterikatan duniawi. Sebagaimana halnya para Maharsi yang bebas dari keinginan menikmati mayanya dunia ini dan bekerja tanpa pamrih untuk kesejahteraan dan kedamaian serta kebahagiaan dunia.

PENUTUP
Menyimak dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan (Hyang Widhi) dan segala sesuatu yang terkait dengan hal itu. Kepercayaan dan keyakinan itu sangat penting dalam kehidupan ini. Kepercayaan/keyakinan sebagai keimanan yang tergolong Tattwa dalam agama Hindu ada lima hal disebut “Panca Sraddha” sebagai pokok-pokok keimanan agama Hindu yang terdiri dari : Brahman, Atman, Karma Phala, Samsara/Punarbhawa dan Moksa.
Demikian paper singkat ini kami rangkum dan persembahkan semoga bermanfaat.

referensi :
1. Kajeng, I Nyoman, dkk : Sarasamuscaya, 1988.
2. Mantra, I.B.Prof. Dr., : Tata Susila Hindu Dharma, 1989.
3. Oka, I.B. Drs : Panca Sradhha, 1992.
4. Pudja, G.MA., SH : Pengantar Agama Hindu, 1989.
5. Pendit, S. Nyoman : Bhagawadgita, 1988.
6. Oka Netra, A.A. Gde Drs : Tuntunan Dasar Agama Hindu, 2001.
7. Wijaya, I Gede : Pengantar Agama Hindu, 1991.
8. Sura, I Gede : Ajaran Ketuhanan Dalam Agama Hindu, 1992.
9. Pudja, G.MA., SH : Theologi Hindu.

PERAN AGAMA DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

“Mānusah sarwabhutse varttate vai subhāsubhe Asubhēsu samavistam śubhesvevāvakārayet”

Diantara semua mahluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia (Sarasamuccaya.2).

I. PENDAHULUAN
Indonesia pada mulanya hanya sebagai tempat transit peredaran narkoba, kemudian berubah telah menjadi tempat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bahkan telah menjadi sumber pembuatannya sebagaimana terungkapnya adanya pabrik pembuatan extasy. Perkembangan baik kuantitatif maupun kualitatif penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin meningkat sampai pada tingkat membahayakan. Bahaya narkoba (Napza) mengancam kelangsungan hidup dan kehidupan serta pembangunan Nasional.
Hal itu diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap bahaya Narkoba, memudahkan seseorang terjerumus dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Disamping itu disinyalir kurang gencar dan tepadunya semua pihak untuk mengantisipasi penyalahgunaan Narkoba ini; Termasuk ringannya sanksi hukum bagi para pengedar dan bandar Narkoba (Napza) itu sendiri, mengakibatkan orang tidak jera berbisnis barang terlarang ini.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia telah menjadi masalah nasional dan mengglobal (mendunia). Untuk itu perlu ditangani secara terarah, terpadu dan berkesinambungan. Bagaimana upaya menanggulangi bahaya narkoba ini, dan bagaimana peran agama dalam resosiolisasi korban dari penyalahgunaan narkoba (Napza) itu sendiri.
Penulis akan mencoba mengungkap dan mengkaji peran agama dalam resosialisasi korban penyalahgunaan Narkoba (Napza) khususnya dari sudut pandang agama Hindu.

II. PENYALAHGUNAAN NARKOBA (NAPZA)
A. Pengertian
Sebelum membicarakan masalah penyalahgunaan Narkoba (Napza) dimaksud, kiranya perlu sepintas dipahami apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan Narkoba (Napza) itu sendiri?
Sesuai dengan esensi dari UU No 22/1997 : Narkotika dan UU No. 5/1997 : Psikotrapika dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud Narkoba adalah singkatan dari : Narkotika, obat berbahaya dan zat adiktif lainnya.
Napza adalah singkatan dari : Narkotika, Psikotropika dan zat adiktif lain. Jadi Narkoba = Napza.
Narkotika : zat atau obat dari tanaman atau bukan, sintetis atau semi sintesis, dapat menyebabkan penurunan/penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi/menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Sedang psikotropika adalah zat atau obat alamiah/sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif susunan saraf menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan prilaku.
Zat adiktif lain adalah bahan lain bukan narkotika ataupun psikotripika berkhasiat adiktif, penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan/ketagihan psikis dan pisik.
Terdiri atas : minuman beralkohol (golongan I – III) tembakau, obat berbahaya.
Golongan I (kadar ethanol 1 - 5%) : bir, greensand.
Golongan II (kadar ethanol 5 - 20%) : anggur
Golongan III (kadar ethanol 20-55%) : wiski
Obat berbahaya, adalah obat yang memiliki kemampuan untuk mengakibatkan kondisi ketergantungan pada organisme hidup, baik mental maupun pisik atau keduanya. Contoh jenis obat tidur (sedativa) seperti : magadon, obat perangsang (stimulansia) salvent seperti bensin, lem, dengan menghirup melalui hidung dan mulut.
B. Rwa Bhineda
Dalam ajaran Hindu semua benda, orang atau bentuk materi lainnya sebagai ciptaan dan anugrah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa ini selalu berdampak dua dimensi yakni “Rwa Bhineda” dua hal yang bertentangan antara baik dan buruk (Dewaya >< Bhutaya). Contoh : makanan dan minuman apabila dimakan atau diminum sesuai dengan keperluan atau takaran (dosisnya) akan bermanfaat bagi kehidupan ini. Akan tetapi bila dipergunakan melewati batas atau dosis/ukuran yang telah ditentukan akan mengakibatkan penyakit yang membahayakan, sehingga makanan pun akan berakibat penyakit apabila salah cara dan ukuran memakannya (a mêrta matêmahan wisya).
Demikian juga halnya dengan Narkoba (Napza) sebenarnya hal itu sangat berguna dan diperlukan untuk kepentingan dunia kedokteran sebagai pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun disisi lain Narkoba (Napza) sangat berbahaya apabila disalahgunakan. Sehingga pengunaannya perlu pembatasan, pengendalian dan pengawasan yang sangat ketat yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 22/1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5/1997 tentang Psikotropika.


C. Bahaya Penggunaan Narkoba
Adapun bahaya penyalahgunaan Narkoba (Napza) antara lain :
1. Terhadap kondisi pisik dapat mengakibatkan impotensi, gangguan menstruasi, menurunkan daya tahan tubuh, anemia, turunnya berat badan, aritunia jantung, lambung/lever, gangguan metabolisme, cacat janin, gangguan seksual, pendarahan otak, terjangkit HIV/AIDS, hepatitis, dan lain-lain.
2. Terhadap mental emosional dan prilaku (psikis), dapat menimbulkan depresi sampai bunuh diri, gangguan prilaku yang tidak wajar, gangguan persepsi/daya pikir/kreasi dan emosi yang dapat merubah prilaku menjadi menyimpang, ada hambatan atau ketidakmampuan untuk hidup secara wajar.
3. Terhadap kehidupan sosial, berakibat dapat mengganggu fungsinya sebagai warga masyarakat, tempat bekerja atau sekolah. Prestasi menurun lalu dipecat/dikeluarkan dari sekolah yang berakibat makin kuatnya dorongan untuk menyalahgunakan obat, hubungan dengan anggota keluarga maupun kawan-kawannya. Dapat pula menimbulkan tindak kriminal, keretakan rumah tangga termasuk penceraian dan lain-lain.

D. Ciri-ciri Penyalahgunaan Narkoba
Selanjutnya ciri-ciri (gambaran umum) penyalahgunaan Narkoba (Napza) adalah sebagai berikut :
1. Tingkah laku ganjil (kontak mata “menghilang” secara tiba-tiba).
2. Egosentris (tidak peduli pada orang lain).
3. Ketidakmampuan memusatkan pikiran (konsentrasi), prestasi belajar menurun.
4. Sering terlambat datang ke sekolah dan pulang lebih cepat dari yang lain bahkan sering tidak masuk karena “sakit”
5. Tugas-tugas yang mesti dikumpulkan/disetor selalu telambat, dengan kualitas yang rendah dari kemampuan sesungguhnya.
6. Sering meninggalkan acara perkuliahan/tugas kantor untuk pergi ke kamar mandi atau ke kantin.
7. Barang-barang pribadi “hilang” dengan penjelasan yang “kurang” masuk akal.
8. Mengabaikan tanggung jawab yang sebelumnya selalu dijalankan.

III. UPAYA PENANGGULANGAN
Upaya penanggulangan penyalahgunaan Narkoba (Napza) dapat dilakukan melalui beberapa tahapan diantaranya :
1. Pre-emtif yaitu pencegahan secara dini melalui kegiatan-kegiatan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) dengan sasaran mengetahui faktor-faktor penyebab, pendorong dan peluang dari terjadinya pengguna untuk menciptakan suatu kesadaran, kewaspadaan serta daya tangkal guna terbinanya kondisi dan norma hidup bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba (Napza).
Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam mengantisipasi segala perbuatan yang dapat merusak kondisi keluarga yang telah terbina dengan serasi/harmonis.
Lingkungan sekolah/kampus juga merupakan areal yang sangat urgen pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian siswa/ mahasiswa baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengaruh negatifnya sesama pelajar/mahasiswa.
2. Preventif, pada hakekatnya : penanaman disiplin melalui pribadi atau kelompok, pengendalian situasi budaya, ekonomi, politik yang cenderung dapat merangsang terjadinya penyalahgunaan Narkoba (Napza). Penggunaan lingkungan untuk meniadakan/ mengurangi kesempatan terjadinya penyalahgunaan Narkoba (Napza) dengan mengadakan pembinaan, bimbingan dan partisipasi masyarakat secara aktif bersama dengan lembaga/ instansi terkait secara langsung atau melalui media, operasi kepolisian, pengawasan tempat-tempat hiburan seperti : diskotik, pub, cafe, karaoke, dan lain-lain.
3. Represif yaitu tindakan dan penegakan hukum melalui proses penyidikan berpedoman pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4. Rehabilitasi yaitu usaha untuk menyehatkan kembali bagi mereka yang terkena penyalahgunaan ataupun yang kencaduan.
Dalam hal ini dapat ditempuh berupa rehabilitasi medik oleh lembaga kesehatan dengan berbagai cara memulihkan kesehatan pisiknya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah rehabilitasi sosial oleh lembaga-lembaga sosial yang psikoeduktif serta mental spiritual.
Adapun tujuan rehabilitasi ini adalah :
- Agar pasien menjadi sehat kembali, dapat melaksanakan tugas dan kewajiban betapa mestinya.
- Dapat mengendalikan emosi, motivasi untuk tidak mengulang penyalahgunaan Narkoba (Napza).
- Menciptakan sikap prilaku positif, mengembalikan kepercayaan diri.
- Mendisiplinkan waktu dan prilaku sehari-hari secara efektif dan produktif.
- Mengembalikan konsentrasi untuk belajar dan bekerja
- Agar dapat diterima kembali dengan baik oleh keluarga dan lingkungannya.
Rupanya tujuan yang terakhir inilah menjadi topik atau inti pokok materi pembahasan kita.
IV. PERAN AGAMA DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
Para sujana (orang bijaksana) mengatakan bahwa agama itu ibaratnya “rambu-rambu lalu lintas” yakni memberi petunjuk jalan yang benar (dharma) dan melarang orang (umatnya) untuk berbuat salah, kebatilan (adharma). Tentang hal itu banyak tersurat dalam pustaka dan susastra Hindu diantaranya Sarasamuçcaya 14 menyebutkan :
“Ikang dharma ngaranya, hênuning marga mara ring swarga ika, kadi gatining parahu, an hênuning banyoga nêntasing tasik”.

Maksudnya :
Yang disebut dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga; sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi orang dagang untuk mengarungi lautan.

Pada sloka berikutnya dipertegas lagi bahwa seperti prilaku matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, adalah memusnahkan segala macam dosa. Keutamaan dharma itu sesungguhnya merupakan sumber datangnya kebahagiaan bagi yang melaksanakannya; lagi pula dharma merupakan perlindungan orang berilmu, tegasnya hanya dharma yang dapat melebur dosa triloka (jagat tiga itu) SS. 16 dan 18.
Dengan mencermati makna sloka tersebut di atas tentu setiap orang diamanatkan untuk berbuat, berpikir maupun berucap yang baik dan benar. Lantas bagaimana bagi mereka yang telah terlanjur berbuat penyimpangan atau penyalahgunaan? Dalam hal ini agama selalu memberikan solusi atau jalan keluarnya yakni memotivasi orang untuk senantiasa berbuat baik (subha karma) sebagai pelebur perbuatan yang tidak baik (adharma) tersebut. Hanya dengan perbuatan baiklah orang akan memperbaiki segala dosa-dosanya, bukan jalan pintas dan sesat.
Bahkan ditegaskan bahwasannya hakikat penjelmaan ini adalah untuk berbuat baik guna melebur alias memperbaiki prilaku yang kurang/tidak baik, sebagaimana ucap Sarasamuçcaya sloka 2 sebagai berikut :
“Mānusah sarwa bhūtesu,
varttate vai śubhāsubhe
aśubhesu samavistam
subhesvevāvakārayet”

Maksudnya :
Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan sebagai (menjadi) manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk. Leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; Demikianlah guna/hakikat (pahala) menjadi manusia.

Dari kutipan sloka di atas dapat diambil maknanya bahwa bagi mereka yang telah kena sebutlah sebagai korban Narkoba (Napza) harus tetap diterima dengan baik, serta merta dituntun untuk selalu memperbaiki diri untuk mendapatkan hari esok yang lebih baik.
Bila kita mengacu peran strategis agama dalam pembangunan di negara kita dikatakan sebagai “landasan moral, etika, serta sebagai motivator, inspirator dan dinamisator”.
Semua ungkapan tersebut di atas mengandung makna untuk senantiasa mendorong mengarahkan, menuntun umatnya untuk menuju kebaikan dan kebenaran.
Dengan demikian peran agama dalam resosialisasi korban Narkoba (Napza) ini sangat urgen.
Sebab agama disamping bertujuan mendapatkan kesejahteraan dunia (jagadhita) tentunya bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dan kedamaian jiwa/rohani (moksa).
Dalam kaitan pencegahan penyalahgunaan Napza ditinjau dari ajaran Hindu, dengan konsep Catur Marga (empat jalan) mencapai tujuan atau empat kiat menuju sukses dapat diterapkan dan diimplementasikan sebagai berikut :
1. Jñana marga : yakni dengan jalan ilmu pengetahuan, dalam hal ini seseorang harus belajar dari memahami dengan benar akibat buruk dari Narkoba (Napza) ini dan sejauh mana kita mengkonsumsi/ mempergunakannya sehingga tidak membahayakan. Selanjutnya kita harus memahami bagaimana caranya menerima mereka yang telah terkena/kecanduan alias korban Napza itu sendiri.
2. Karma marga : yang dimaksudkan disini adalah memberikan pekerjaan atau mengajak mereka menekuni suatu kegiatan kerja dengan penuh tanggung jawab yang tentunya diawali membekali mereka pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka menjadi seorang pekerja yang tekun untuk tidak terjerumus lagi pada kancah kecanduan Narkoba (Napza) tersebut.
3. Bhakti marga : uaitu dengan rasa tulus dan ikhlas menerima mereka di masyarakat sebagai warga masyarakat, jangan dikucilkan. Tuntunlah mereka dengan kecintaan yang tulus dan mendalam dengan landasan “asah-asih-asuh” sehingga tidak menyebabkan ketersinggungan dan rasa anti panti. Segala sesuatu yang dilandasi rasa bhakti pasti akan menimbulkan kecintaan dan simpati.
4. Yoga marga : dalam kaitan ini bagaimana kita bisa menuntun mereka untuk taat, patuh dan berdisiplin serta menjaga hubungan yang harmoni dengan mereka sebagai mantan (korban) Narkoba (Napza) itu sendiri. Hubungan yang harmoni akan dapat menjalin komunikasi yang baik yang bermuara berhasil (suksesnya) suatu usaha. Dalam hubungan ini peran Tri Guru utamanya Guru Rupaka yakni orang tua (pihak keluarga) harus memperhatikannya dengan kesungguhan hati. Demikian juga Guru Pengajian yaitu para Guru/Dosen di sekolah/kampus hendaknya dengan penuh rasa cinta yang mendalam. Yang tidak kalah pentingnya adalah Guru Wisesa yakni pemerintah baik dinas maupun adat/pakraman dapat menerima dan memperlakukan dengan baik terarah, terpadu dan berkesinambungan niscaya tidak ada masalah yang tidak terselesaikan dengan baik.

Peranan Catur Guru :
1. Guru Rupaka
Sebagai orang tua memegang peranan penting untuk memantau dan mengawasi putra-putrinya sehingga tidak terkena bahaya narkoba.
2. Guru Pengajian
Sebagai bapak/ibu guru yang mengajar di sekolah tidak kalah pentingnya dalam hal menuntun, mengawasi, dan memantau para siswanya ke arah hal yang positif sehingga tidak terkena penyalah gunaan Napza.
3. Guru Wisesa
Dalam hal ini sebagai aparat pemerintah baik dinas maupun adat atau pekraman sangat potensial dan punya wewenang untuk mengarahkan warga masyarakatnya termasuk para pelajar dan remaja untuk menuju anggota masyarakat yang bermanfaat dan berguna dalam pembangunan bangsa dan negara.
4. Guru Swadyaya
Dalam hal ini Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumber dan kembalinya mahluk ciptaan-Nya merupakan sumber mohon segala petunjuk dan tuntunan bagi umatnya untuk menuju kerahayuan.
Demikianlah peranan Catur Guru sangat penting dan strategis dalam hal pencegahan penyalahgunaan Napza.


V. PENUTUP
Dari paparan dan uraian tersebut di atas kiranya dapat ditarik benang merahnya bahwasannya :
- Masalah Narkoba (Napza) bila disalahgunakan akan membahayakan bagi kita semua, khususnya para generasi muda sebagai penerus bangsa.
- Masalah penyalahgunaan Narkoba (Napza) merupakan masalah nasional dan mengglobal yang patut diantisipasi serta ditangani secara serius oleh semua pihak baik secara medis maupun sosial.
- Korban penyalahgunaan Narkoba (Napza) harus tetap ditangani dan dibina serta diarahkan secara terpadu dan berkesinambungan.
- Peran agama dalam penanganan dan pembinaan korban Narkoba berikut resosialisasi sangat penting dan berkompeten, karena agama bertujuan untuk kesejahteraan dan kerahayuan baik lahir maupun bathin.
- Peran agama dalam pencegahan penyalahgunaan Napza sangat penting karena pada hakekatnya agama bertujuan untuk kerahayuan dan kesejahteraan baik lahir maupun bathin.

PEMBINAAN DIRI GENERASI MUDA HINDU SEBAGAI GENERASI PENERUS

Sebagaimana kita maklumi bersama bahwasanya di negara manapun peran Generasi Muda (Pemuda) merupakan “Soko Guru” atau tulang punggung dalam kancah perjuangan untuk mendapatkan pembaharuan, pembangunan maupun kemerdekaan. Tidak terkecuali di Indonesia dimana berkat pergerakan dan perjuangan para pemudalah yang tentunya didukung oleh semua komponen dan lapisan masyarakat sehingga kita memperoleh dan mencapai pintu gerbang kemerdekaan.
Oleh karena itu maka pembinaan Generasi Muda adalah suatu pekerjaan yang amat urgen serta perlu secara kontinyu dan berkesinambungan mutlak hendaknya dilaksanakan. Atas dasar inilah bangsa kita dengan penuh kesadaran menjadikan masalah pembinaan Generasi Muda ini menjadi masalah Nasional dengan menuangkan dalam GBHN yang termaktub dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978.
Strategi Pembinaan Generasi Muda ditentukan sebagai berikut :
a. Pembinaan Generasi Muda diarahkan untuk mempersiapkan kader penerus perjuangan bangsa dan Pembangunan Nasional dengan memberikan bekal berupa : :
- Ketrampilan
- Kepemimpinan
- Kesegaran Jasmani
- Daya Kreatif
- Patriotisme dan Idialisme
- Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur
Untuk itu perlu diciptakan iklim yang sehat, sehingga memungkinkan kreativitas generasi muda berkembang secara wajar dan bertanggung jawab.
b. Pengembangan Wadah Pembinaan Generasi Muda seperti :
- Sekolah
- Organisasi fungsional pemuda seperti antara lain :
1. KNPI
2. Pramuka
3. Organisasi Olahraga
4. dan lain-lain
Untuk itu perlu diusahakan bertambahnya fasilitas dan sarana yang mendukung pengembangan pembinaan kepemudaan tersebut.
c. Perlu diwujudkan suatu pola kebijakan secara Nasional dan menyeluruh untuk menangani masalah-masalah pembinaan Generasi Muda secara menyeluruh dan terpadu.

II. GENERASI MUDA HINDU DAN PEMBINAAN DIRI
A. Generasi Muda Hindu
Mencermati amanat GBHN yang dituangkan dalam Tap MPR (No : IV/MPR/1978) kita sebagai Generasi Muda Hindu hendaknya tidak berdiam diri, akan tetapi harus merespon dengan semangat kebersamaan, melalui wadah yang ada baik yang bersekala Nasional lewat PERADAH (Persaudaraan Pemuda Hindu), PHI (Pemuda Hindu Indonesia). Demikian juga wadah berskala kedaerahan seperti Sabha Yowana, Seka Teruna-Teruni (Daha-Terunanya) masing-masing kita tidak perlu mempermasalahkan apa lagi mempertentangkan organisasi yang ada akan tetapi bagaimana kita memberdayakan dan mengefektifkan organisasi atau lembaga tersebut dalam pembinaan generasi muda Hindu itu sendiri.

B. Pembinaan Diri Generasi Muda Hindu
Pembinaan diri mutlak diperlukan, karena tanpa pembinaan akan mengakibatkan tanpa arah, tidak tertata yang bermuara pada amburadul bahkan kehancuran dan mala petaka. Memang ideal pembinaan dan tuntunan itu dilakukan sejak dini bahkan semasih dalam kandungan (prenatal). Sejak dini atau di usia mudalah orang akan lebih mudah membentuk pola dan prilaku yang tumbuh dan berkembang di masa berikutnya. Disamping itu di usia muda pikiran dan tenaganya masih sedang vitnya, untuk itu perlu diarahkan untuk belajar dan mempersiapkan diri.
Sarasamuscaya 27 menyebutkan :
“Matangnya deyaning wwang, pengponganikang kayowanan panêdêng ning awak, sadhanākêna ri karyaning dharma, artha, jnana, kuang apan tan pada kaśaktining atuha lawan rare, drstanta nahan yang alalang atuha telas rumepa maring alandêp ika”

Maksudnya :
Karenanya perilaku seseorang, hendaknya digunakan sebaik-baiknya masa muda, selagi badan sedang kuatnya, hendaklah dipergunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilmu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda ; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi.

Oleh karena itu pergunakanlah kesempatan di masa muda ini dengan sebaik-baiknya guna menuntut ilmu, ketrampilan dan skill sehingga dengan memiliki pengetahuan dan skill (ketrampilan) membuka pintu lebar-lebar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang maksimal sebagai bekal di hari tua. Semakin tinggi atau semakin mantap seseorang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan maka semakin mudah mereka akan mendapatkan uang (artha).
Pembinaan diri disini disamping berupa ilmu pengetahuan dan ketrampilan dimaksudkan pula berupa kepemimpinan (ledership). Kepemimpinan dalam ajaran Hindu dibahas dalam Niti Sastra (Danda Niti) dan sebagai maestronya adalah Kautilya. Sebagai seorang pemimpin yang disebut raja atau swamim mempunyai kedaulatan penuh sebagai pelindung dharma dan keadilan (Cakrawartin dharma prawartaka).
Salah satu contohnya dari kepemimpinan ini sebagaimana yang diamanatkan oleh Sri Rama kepada Wibisana dalam kekawin Ramayana Sargah XXIV.52 dicantumkan :
Sanghyang Indra Yama Surya Chandra Nila, Kwera Baruna Agni nahan wwalu, sira ta maka angga sang Bhupati, matangniran inisti asta brata”.

Artinya :
Sanghyang Indra, Yama, Surya, Chandra dan Bayu. Sanghyang Kwera, Baruna dan Agni itu semuanya delapan. Semua Beliau itu menjadi pribadi sang Raja (pemimpin). Oleh sebab itulah beliau harus (memahami) dan memuja Asta Brata.

Rinciannya :
1. Indra Brata artinya dapat memberikan kesuburan atau kemakmuran rakyatnya.
2. Yama Brata maksudnya seorang raja harus berperilaku adil.
3. Surya Brata maksudnya seorang raja sangat berhati-hati tidak gegabah/tergesa-gesa.
4. Chandra Brata berarti seorang raja dapat memberi kesejukan, kelembutan simpatik.
5. Bayu Brata : seorang raja hendak meresap dan mengetahui keinginan/aspirasi rakyat.
6. Kwera Brata : seorang raja jangan rakus/tamak dalam mengenyam kenikmatan harta benda (Tri Boga).
7. Baruna Brata : seorang raja harus dapat meneruskan mala petaka dan bahaya.
8. Agni Brata : seorang raja harus dapat membangkitkan semangat menegakkan dharma dan membasmi adharma.
Berikutnya masalah kesegaran jasmani dan daya kreativitas sangat penting perlu dibina sebab tanpa jasmaninya sehat dan kuat bagaimana dapat menumbuhkan kreativitas yang tinggi. Dengan adanya Kementrian Pemuda dan Olahraga dengan berbagai programnya yang pada intinya mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga tentu bertujuan untuk menyehatkan masyarakat terutama generasi mudanya. Sebab didalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat “Men Sana in Korporisano”.
Selain olahraga yang perlu dicermati dalam membina kesehatan ini, masalah NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) harus dihindari. Jangan sampai terkena dan kecanduan barang-barang yang membahayakan ini. Sebab sekali kena dan kecanduan itu berarti kehancuran dan mala petaka.
Sebagai seorang generasi muda harus mengembangkan daya kreativitas yang tinggi jangan loyo ; kembangkanlah kreativitas itu sesuai minat dan bakat demi menuju masa depan yang gemilang dan berprestasi baik dibidang sains maupun seni dan olahraga. Sebab bagi mereka yang berprestasi akan mengharumkan nama dan martabat diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat dalam kekawin Niti Sastra IV.1. “...... yaning putra suputra sadhu gunawan mêmadangi kula wandu-wandawa”.
Selain itu prihal tdb di atas masalah patriotisme dan idealisme sangat perlu ditanamkan serta ditumbuh kembangkan dalam benak generasi muda. Lebih-lebih di saat-saat kita memperingati HUT Kemerdekaan kita. Jangan sampai luntur rasa patriotisme camkan dan tumbuhkan semangat juang para pendahuli kita yang telah rela mengorbankan jiwa raganya bagi bangsa dan negara.
Idealisme Pancasila sangat perlu dipahami, dihayati sekaligus diamalkan sebagai falsafah dan “Way of Life” kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai Generasi Muda Hindu di Bali kiranya perlu mengacu pada pola pembangunan Bali yang berwawasan budaya dilandasi Tri Hita Karana.
Bagian terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah tentang kepribadian dan budi pekerti yang luhur. Sebab betapa majunya dan kuatnya pisik atau materi itu, tanpa ditunjang serta dilandasi kepribadian dan budi pekerti luhur niscaya tak ada artinya bahkan akan dapat menghancurkan diri kita semua. Landasan etika dan moral yang mengacu pada jati diri dan budi pekerti luhur akan menjadikan hidup ini indah dan harmoni. “Satyam Siwam Sundharam” Kebenaran, kesucian dan keharmonian adalah sutra yang indah dan penuh makna. Tanpa kejujuran dan kebenaran tidak akan memperoleh kesucian yang pada akhirnya keharmonisan dalam kehidupan ini. Rupanya disinilah peran dan hakekat agama yang esensi.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama patut dijadikan landasan etika dan moral. Tanpa moral yang baik mana mungkin mencapai hasil maupun pembangunan dan kehidupan yang baik. Oleh karena itu sebagai Generasi Muda Hindu target atau ukuran yang patut diwujudnyatakan adalah “Suputra Sadhu-Gunawan” yakni putra yang baik/utama adalah Sadhu (bermoral atau berbudi pekerti luhur) dan Gunawan (berpengetahuan dan berketrampilan). Dalam hal ini justru “Sadhu” lah dijadikan landasan dalam mengamalkan/mengaplikasikan ilmu pengetahuan dimaksud.
Di dalam buku Intisari Bhagawadgita ada pernyataan bahwa “Diri ini bukan badan”. Diri atau Sang Diri adalah hakekat/roh dari kehidupan ini. Inilah sejatinya yang ada dan kekal. Badan atau raga kita adalah tidak kekal oleh karena itu akan lebih baik cacat-cela badan ketimang cacat cela sang diri/mental spiritual kita. Makanya buta mata lebih baik daripada hatinya buta.
Rupanya disini hakekat pembinaan diri, yakni dalam hal phisik, ilmu pengetahuan dan ketrampilan disatu sisi dan disisi lain sebagai roh/hakikat adalah mental spiritual alias moralnya.
Sehubungan dengan hal tersebut Generasi Muda Hindu sebagai Generasi penerus hendaknya menjadikan “Catur Marga” 4 (empat) kiat menuju sukses yaitu :
1. Jnyana marga yaitu jalan ilmu pengetahuan ; Tuntunlah ilmu setinggi-tingginya. Tanpa ilmu pengetahuan hidup ini menjadi susah, sebaliknya dengan ilmu pengetahuan menjadi mudah. Bergelut dan bersahabatlah dengan ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan adalah sahabat yang utama “Nora hana mitra manglêwi hane wara guna maruhur”......
Pergunakanlah kesempatan masa muda untuk menuntut ilmu baik apara widya (sains dan teknologi) maupun “para widya” (spiritual).
2. Karma Marga : Ilmu pengetahuan yang kita miliki hendaknya diterapkan dalam bekerja sebaik-baiknya. Bekerjalah yang berorientasi pada prestasi atau hasil kerja yang optimal dengan bergantung pada upah dan gajinya.
Bila orientasinya pada hasil kerja atau prestasi orang tidak akan pernah mengeluh. Apalagi kerja itu dilandasi pada pengabdian. Bekerjalah sesuai dengan guna (bakat) dan karuna (bidang tugas) prosesinya.
Idealnya ajaran “karma-marga” mengamanatan agar kita “Sepi ing pamrih rame ing gawe”. Bekerjalah, bekerjalah tanpa menghitung berapa dan kapan hasil itu kita terima !
3. Bhakti Marga : disamping ilmu pengetahuan dan kerja prihal bhakti, dalam hal ini dapat dimaksudkan rasa hormat, tulus ikhlas dan loyalitas sangat perlu diterapkan. Dalam buku Kapita Selekta oleh Cudamani ada dinyatakan bahwa semua hasil budaya dan seni yang ada ini semua diawali dan dilandasi bhakti. Bhakti mengandung makna yang sangat luas sebagaimana tersirat di atas yang juga dibarengi cinta dan kasih.
Ibarat seorang ibu saking cinta pada anaknya walaupun belum bisa seorang anak/bayi meminta pakaian dan perhiasan, ibu atau orang tuanya akan membelikan dan memberikan buah hatinya apa yang mereka mampu.
Demikianlah sorang bhakta membangun tempat pemujaan (Pura) berikut persembahan berupa banten, seni dan uparengga lainnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Terkait dalam kehidupan ini perlu dipupuk rasa bhakti atau loyalitas itu sehingga terjalin hubungan cinta kasih secara harmoni.
4. Raja/Yoga marga : dalam hal ini yang dimaksudkan bahwa sebagai generasi muda Hindi patut memberikan porsi pada kedisplinan, kepatuhan dan ketetapan hati. Seorang Yogi adalah mereka yang sangat disipplin dengan tata aturan pengendalian diri. Sebab inti hakikat yoga yang diamanatkan dalam Yoga Sutra oleh Pattanjali adalah “Yogascitta Wrtti Nirodah” artinya Yoga adalah pengendalian diri/pikiran atau indria. Hal ini wujud kedisplinan seorang yogi. Barang siapa yang kedisiplinannya tinggi mereka itulah yang dapat melakukan pekerjaan dengan sukses. Kedisplinan itu mutlak diperlukan dalam kehidupan. Kita kurang disiplin dan kadang kala kurang tertib sehingga kesuksesan bisa tertunta. Oleh karena itu mari mulai dengan hidup yang disiplin dan tertib. Disamping Yoga berarti disiplin juga Yoga berarti hubungan dari urat kata “Yug”. Dalam hal ini kita hendaknya dapat mengadakan hubungan yang harmoni baik terhadap Tuhan, manusia maupun pada alam lingkungan (Tri Hita Karana).
Bila kita dapat menerapkan hubungan yang harmoni ini khususnya dalam kaitan hubungan harmoni antar sesama manusia akan dapat mewujudkan kerukunan dan kedamaian.
Renungkan dan camkan konsepsi Catur Marga sebagai 4 (empat) kiat menuju sukses.

III. PENUTUP
Menyimak dari paparan dan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pembinaan Generasi Muda termasuk dalam hal ini pembinaan diri generasi muda Hindu mutlak sangat diperlukan guna menjadi generasi penerus.
2. Pembinaan ini seyogyanya diarahkan pada : ilmu pengetahuan/ketrampilan, kepemimpinan, kesegaran jasmani, daya kreatif, patriotisme, idealisme, kepribadian dan budi pekerti yang luhur.
3. Dalam pembinaan diri ini kiranya dapat mengacu pada Catur Marga Yoga yaitu Jnana, Karma, Bhakti dan Raja/Yoga Marga.
Dalam pembinaan ini hendaknya dilakukan secara berkesinambungan, terarah dan terpadu dari semua pihak sehingga sukses, berdaya guna dan berhasil guna.


















DAFTAR PUSTAKA

1. A.A. Gde Oka Netra, Drs. : Remaja Agama dan Pembangunan, Yayasan Widya Graha.

2. Daradjat Zakiah, Dr. : Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Gunung Agung Jakarta, 1978.

3. PGAHN 6 Th. Singaraja : Niti Sastra Dalam Bentuk Kekawin, 1971.

4. Kadjeng I Nyoman, dkk. : Sarasamuccaya, Yayasan Dharma Sarathi, 1991.

5. Pendit S. Nyoman : Bhagawadgita, Daya Prana Press, 1988.

6. Kanwil Dep. Agama Prop. Bali : Kekawin Ramayana, Kapita Selekta Agama Hindu.

7. Cudamani : Kapita Selekta Agama Hindu

8. Wiana I Ketut, Drs. : Materi Pokok Niti Sastra, Ditjen Bimas Hindu dan Budha, 1996.

Kamis, 24 Februari 2011

Peristiwa Di Hari-Hari Tanpa Peristiwa

Sakehing kan dumadi makardi == Lir Hyang Widhi kang tansah makarya == Nguripi jagad tan leren == Surya, candra lan bayu == Bhumi tirta kalawan agni == Paparing panguripan == Mring pamrih wus mungkur == Anane nuhoni dharma == Iku dadya "sastra cetha" tanpa tulis = Nulat lakuning alam

Semua yang ada ini bekerja == Bahkan Tuhan pun bekerja == Menghidupi dunia ini tanpa henti == Matahari, bulan, angin, == Bumi, air dan api semua bekerja demi kelangsungan hidup, dan tanpa pamrih == Dasarnya hanyalah merasa wajib == Alam adalah "ilmu nyata" == Kita wajib meniru dharmanya

[Dandanggula, Dharma Kinidung, Adi Suripto]

Saat memimpin proyek, dalam menapaki berbagai kegiatan yang terdapat dalam siklus hidup proyek, ada saatnya hari-hari kita penuh peristiwa, tetapi ada kalanya, kita mengarungi hari-hari membosankan tanpa peristiwa. Adakah hikmah yang dapat kita raih pada hari-hari tanpa peristiwa itu ?



---oOo---

Kita memerlukan akumulasi pengalaman, untuk membangun kompetensi sebagai seorang project manager. Kegagalan dan keberhasilan dalam menangani aktifitas proyek, akan melekat dalam bathin dan menjadi kekayaan yang sangat berharga. Rangkaian peristiwa penting yang menjadi tonggak karir, laksana darah dalam perjalanan kita menuju kesempurnaan. Semakin dewasa, semakin banyak pengalaman yang kita peroleh. Dan kualitas kepemimpinan kita, akan terlihat dari cara kerja dan cara memperlakukan manusia, sebab hal-hal tersebut, telah dilalui selama bertahun-tahun dalam perjalanan karir yang panjang. Tanpa pernah terpuruk dalam lembah kegagalan, dan tiba dipuncak keberhasilan, maka perjalanan panjang kehidupan akan hambar tanpa arti. Gejolak pengalaman gagal dan sukses itu, harus kita hargai.

Sayangnya, sedikit dari kita yang menyadari, pengalaman tidak saja harus dipetik dari puncak keberhasilan dan lembah kegagalan, akan tetapi, juga dapat diraih dari peristiwa keseharian. Walau di hari-hari datar nan menjemukan, asal kita mampu menemukan hikmah dari perstiwa kecil yang terjadi, maka kita dapat menimba segudang pengalaman, dari peristiwa-peristiwa dalam hari-hari tanpa peristiwa.

Tidak hanya momen besar yang perlu kita perhatikan, hal-hal kecil juga penting artinya bagi kita. Setiap hal kecil yang menuntut keputusan, kita bisa evaluasi. Keterlambatan pengiriman barang dari pemasok, perubahan lingkup proyek, gagal dalam memenuhi target waktu proyek dan sebagainya memang merupakan kegagalan besar. Tapi kita juga bisa menemukan kegagalan-kegagalan lainnya. Tidak ada kegagalan absolut, juga tak pernah ada keberhasilan absolut. Jika direnungkan dengan seksama, dalam setiap kegagalan ada benih keberhasilan, dan sebaliknya tidak ada keberhasilan yang tidak mengandung bibit kegagalan di dalamnya.

Karena itulah, semangat untuk terus bekerja dan berkarya dalam hari-hari tanpa peristiwa, harus terus kita tanamkan dalam diri. Kita teladani Sang Penguasa Alam yang memutar semesta tanpa henti. Di akhir hari tanpa peristiwa, manajer proyek yang cermat, akan mencatat semua tindakan dan keputusan yang telah diambilnya dalam satu hari. Lalu mengukur, sampai berapa jauh keberhasilan dan kegagalannya. Mengevaluasi hal-hal yang seharusnya bisa ditangani secara lebih baik dan apakah pilihan yang diambil sudah merupakan pemecahan terbaik. Dengan kegiatan mulat sarira / cermin diri / refleksi analitis setiap hari, manajer proyek akan dapat mengambil hikmah suatu peristiwa kecil untuk disulap menjadi pengalaman yang berguna, walau peristiwa tersebut terjadi dihari yang datar, rutin dan tidak istimewa.

Dengan menganalisa kesalahan kecil yang terjadi setiap hari, yang luput dari perhatian sebagian besar orang, banyak hal yang dapat dipelajari. Tantangannya adalah, bagaimana mengambil hikmah, lalu mengubah kesalahan-kesalahan itu, menjadi pengalaman yang berguna. Jika kita melewatkan hari tanpa refleksi, memang umur kita akan bertambah, tapi tanpa memperoleh kematangan dari pengalaman yang berguna itu.

Seorang manajer proyek berkewajiban untuk membagi pengalaman dan mengusahakan agar staff proyek memperoleh kesempatan belajar dari pengalaman sendiri. Jika tidak ada kesempatan untuk mereka dalam memikul tanggung jawab atas tugas-tugas atau aktifitas-aktifitas proyek, maka mereka hanya akan menjadi robot yang akan bereaksi jika ada perintah. Kalau hal itu terjadi, maka anda sudah menerapkan cara yang paling tidak manusiawi dalam mempekerjakan manusia. Dalam jangka panjang, hal ini sangat tidak bermanfaat bagi organisasi secara keseluruhan. Menciptakan kondisi bagi staff agar mendapatkan kesempatan untuk menggunakan prakarsanya dan mencoba gagasan-gagasan sendiri adalah merupakan suatu keharusan sehingga mereka memiliki pengalaman sendiri.

Hari-hari tanpa peristiwa dapat anda gunakan untuk mendorong kegiatan-kegiatan dimana para staff dapat berlatih untuk memikul tanggung jawab, menggunakan prakarsa, sehingga memiliki pengalaman keberhasilan maupun kegagalan. Sehingga pada saatnya nanti, kemampuan mereka dapat bermanfaat dalam membantu kita, mengarungi ”peristiwa-peristiwa penting” yang menentukan keberhasilan proyek.

PERILAKU REMAJA ZAMAN SEKARANG

PERILAKU REMAJA ZAMAN SEKARANG


KLO berani satu lawan satu! Itu ungkapan spontan yang dikeluarkan para remaja sebelum tawuran antar-pelajar, mahasiswa, bahkan pejabat teras ataupun aksi yang kini marak dikategorikan sebagai tindakan premanisme. Di antara ungkapan itu, ada persamaan yang jelas terlihat. Pelaku yang terlibat umumnya kaum adam. Jelas, jika ungkapan itu sangat lazim diucapkan. Tapi persamaan lainnya, mereka umumnya golongan remaja. Tapi bagaimana jika pelakunya kaum hawa? Yang menarik dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang mereka mengeluarkan ucapan yang sering dilontarkan oleh kaum adam, kaum hawa yang konon sering dikategorikan sebagai kaum yang lemah!

Sebenarnya itu bukan hal baru . bahkan diantara banyak kasus Penganiayaan itu lebih beken disebut salah satu tindakan penggencetan. Penggencetan itu sendiri tidak hanya dilakukan dengan kontak fisik, tapi bisa hanya dengan teguran keras, atau teror lewat sms atau media lainnya.

Tidak bisa dipungkiri, hal itu sudah menjadi tradisi dari senior kepada junior yang dilakukan karena banyak alasan. Mulai dari alasan yang jelas sampai alasan yang lucunya tidak disebutkan si senior sampai kapanpun! Ya.. seperti tayangan di sinetron remaja yang lagi “in” sekarang ini!

Perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam dua jenis delikuensi, yaitu situasional dan sistematik.

Pada delikuensi situsional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada dalam satu geng atau organisasi. Di sini ada norma, aturan, dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggota termasuk berkelahi.

Sebagai anggota mereka bangga melakukan apa yang diharapkan. Kejadian itu berkaitan dengan emosinya yang dikenal dengan masa strom dan stress. Dipengaruhi lingkungan tempat tinggal, keluarga, dan teman sebaya serta semua kegiatan sehari-hari.

Memotivasi diri

Goleman (1997) mengatakan, koordinasi suasana hati inti dari hubungan sosial yang baik. Seorang yang pandai menyesuaikan diri atau dapat berempati, ia memiliki tingkat emosionalitas yang baik. Kecerdasan emosional lebih untuk memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.

Lima wilayah kecerdasan emosional sebagai pedoman setiap individu, untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari. Yakni mengenali emosi, kesadaran diri dalam mengenali perasaan ketika perasaan itu terjadi sebagai dasar kecerdasan emosi, sehingga kita bisa peka pada perasaan sesungguhnya dan tepat dalam pengambilan keputusan masalah.

Mengelola emosi, berarti menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan tepat memotivasi diri mengenali emosi orang lain empati atau mengenal emosi orang lain, dibangun berdasar pada kesadaran diri. Orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosi sendiri, dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

Membina hubungan dengan orang lain, sebagai makluk sosial, individu dituntut dapat menyelesaikan masalah dan mampu menampilkan diri, sesuai aturan yang berlaku. Karena itu remaja agar memahami dan mengembangkan keterampilan sosialnya.

Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan ia sulit meyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Sehingga timbul rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku normatif (misalnya, asosial ataupun anti-sosial). Bahkan lebih ekstrem biasa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, tindakan kekerasan, dsb.

Beberapa aspek yang menuntut keterampilan sosial (dalam Davis dan Forsythe, 1984). Yaitu keluarga, hal yang paling penting diperhatikan orang tua, menciptakan suasana demokratis dalam keluarga. Sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua dan saudara.

Lingkungan, pengenalan lingkungan lebih luas dari keluarga. Kepribadian, diberikan penanaman sejak dini, nilai-nilai yang menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa mendasarkan pada hal fisik seperti materi dan penampilan. Rekreasi, pergaulan dengan lawan jenis, pendidikan, persahabatan dan solidaritas kelompok.

Remaja diajarkan lebih memahami diri sendiri (kelebihan dan kekurangannya), agar ia mampu mengendalikan dirinya. Sehingga dapat bereaksi secara wajar dan normatif, dibiasakan untuk menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya.

Dengan cara itu remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari sekitar, mudah bersosialisasi, memiliki solidaritas tinggi, diterima di lingkungan lain. Sehingga akan mampu membantu menemukan dirinya sendiri dan mampu berperilaku sesuai norma yang berlaku